Cari Blog Ini

Jumat, 28 Desember 2018

Peran Pertama dan Utama dalam Mendidik Anak

*Peran Utama dan Pertama dalam Mendidik Anak*

Mendidik anak adalah tugas utama orang tua. Guru juga berperan dalam mendidik tetapi tetap orang tualah yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas anak-anaknya.

Bukan karena orang tua sudah membayar biaya sekolah lantas menuntut sekolah menjadikan anaknya baik, sholeh sholehah dan segala macam prestasi. Sekolah hanya membantu orang tua dalam menyampaikan ilmu, mendidik anak-anak didik dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya.

Bagaimana mungkin orang tua berharap anaknya ekspress jadi pintar, sholeh sholehah dalam waktu 3 tahun SMP atau SMA, sementara bersama mereka sudah belasan tahun dilalui. Entah dengan didikan seperti apa di rumahnya?
Kemanjaan yang berlebihan? Kekerasan yang menyakitkan? Bully-an yang tak beradab? Hanya orang tua yang bisa menjawabnya.

Wabil khusus jika anaknya dipesantrenkan. Entah kenapa ada anggapan umum bahwa jika masuk pesantren anak akan jadi: sholeh, mandiri, qonaah, hafal Qur'an dan hadits. Sedangkan di rumahnya sendiri tidak dididik supaya mandiri, qonaah dan terbiasa menghafal Qur'an bersama-sama?
Faktanya?

Anak yang terbiasa dimanja akan menjadi anak yang ingin segala sesuatunya dituruti oleh pengasuhnya di pesantren. Cenderung tidak taat aturan. Sekarep dewek.

Anak yang terbiasa dididik dengan kekerasan akan menjadi anak yang keras kepala, keras hati dan tak segan menyakiti temannya baik verbal maupun lisan. Lebih menyedihkan lagi jika hatinya sudah membatu, sulit menerima nasihat.

Anak yang terbiasa dididik dengan permisif, cenderung merasa terkekang selama di pesantren. Jam pelajaran dianggap membatasi kesenangannya. Sehingga ketika pulang ke rumah saat libur, mereka memuaskan kesenangannya entah dengan gadget, tontonan yang tidak baik, lupa semua yang sudah diajarkan di pesantren.

Ada juga anak yang di depan guru tampak baik, sedangkan di depan orang tuanya menceritakan keburukan guru. Dalam kasus ini, tentu tergantung dari sikap orang tuanya. Kalau saya dulu, mana berani menjelekkan guru atau mengadu pada orang tua. Yang ada malah saya diomeli balik.

Adab murid kepada guru, tergantung pada adab orang tua terhadap guru anaknya. Ingat kasus murid memukul gurunya sampai tewas? Atau orang tua yang melaporkan guru ke polisi? Subhanllah.....  Guru bukan pegawai yang dibayar saja. Guru berkewajiban mendidik murid atas dasar rasa sayang...

Salah besar jika orang tua heran "kok anak saya malas ibadah? Di sekolah gak diajarin?"
Bukan gak diajarin, tapi anak itu merasa ajaran ibadah itu sebagai kekangan atas kesenangannya atau kesadaran dan kebiasaan sejak di rumah?

Orang tua dan guru harus sinergis dalam mendidik anak. Artinya, kalau di sekolah sudah disiplin, di rumah pun harus. Jangan serba boleh melakukan apapun. Ujung-ujungnya nanti menyalahkan sekolah kalau anaknya tidak baik...

Kesimpulan:
Sekolah bukan tempat "cuci piring". Ingin anak jadi baik, maka itu dimulai sejak di rumah. Bahkan sejak anak masih di dalam kandungan. Atau jauh sebelum itu, sejak Ayah dan Bunda belum menikah. Mendidik diri sendiri lebih dulu.(yuni)

Jumat, 07 Desember 2018

Maaf Bang, Aku Tak Pandai Menawar



Sore itu anggaplah saya sedang ngidam buah juwet/jamblang. Kami pergi ke pasar dan mencari buah langka tersebut. Hanya ada satu kios yang menjual juwet, itu pun kecil-kecil. Harganya masih mahal. Rp.23.000/kg. Namanya sudah kepingin banget, langsung saya beli setelah mencoba nawar Rp.20.000 tapi nggak dikasih.

Suami sempet nyari ke kios lain, tapi saya pikir "Ah ribet. Mesti keliling pasar lagi. Belum tentu nanti dapat. Kan sebenarnya buah juwet itu musiman, lebih sering gak adanya. Nggak kayak buah tomat yang ada di mana-mana di pasar.

"Bener nih Bu nggak dapat Rp. 20.000?" Tanyaku.

"Iya Neng, ini buah langka. Gak dapet 20 mah." Jawab pedagang yang berlogat Sunda itu.

Baca juga tulisan Niya Blogger Banten

Aku menyerah, dan membeli saja 1 kg. Sekalian sama kolang-kaling 1/2 kg seharga Rp. 10.000. Sudah itu kami pulang. Pedagangnya bilang begini sebelum kami pergi, "makasih ya Neng.. semoga berkah hidup Neng..." Betapa gembiranya daku Bang....

Sambil di jalan, kami ngobrol tentang juwet tadi. Tampaknya suami belum ikhlas karena belanjaanku itu sama sekali gak ada hasil nawar.

"Bang, kita kalo ke supermarket ada gitu nawar ke kasir? Nggak kan? Biarin ajalah, seribu duaribu yang kita berhasil tawar apa manfaatnya buat kita? Tapi bagi pedagang itu sangat berharga. Denger gak tadi, pedagangnya ngedoain keberkahan buat kita. Udahlah jangan nawar pedagang kecil... Biar berkah hidup kita."

"Iya juga ya. Betul itu Neng." Ungkapnya.

Dalam beberapa kesempatan belanja di pasar, kadang suami menegur "Kok nggak ditawar sih?"

Aku pun nyengir saja, bukannya mau pamer putihnya gigiku tapi memang kelemahanku adalah tak pandai menawar apalagi ke pedagang kecil. Ya kalau pedagangnya "mudah" ditawar ya nggak apa-apa. Tetapi kalau dia nggak ridho, kita sebagai pembeli jangan maksa. Berjual-beli itu harus sama-sama ridho... Jangan sampai ada yang terzalimi.

Maaf Bang, Aku Tak Pandai Menawar




Ket.foto: dari google

Sore itu anggaplah saya sedang ngidam buah juwet/jamblang. Kami pergi ke pasar dan mencari buah langka tersebut. Hanya ada satu kios yang menjual juwet, itu pun kecil-kecil. Harganya masih mahal. Rp.23.000/kg. Namanya sudah kepingin banget, langsung saya beli setelah mencoba nawar Rp.20.000 tapi nggak dikasih.

Suami sempet nyari ke kios lain, tapi saya pikir "Ah ribet. Mesti keliling pasar lagi. Belum tentu nanti dapat. Kan sebenarnya buah juwet itu musiman, lebih sering gak adanya. Nggak kayak buah tomat yang ada di mana-mana di pasar.

"Bener nih Bu nggak dapat Rp. 20.000?" Tanyaku.

"Iya Neng, ini buah langka. Gak dapet 20 mah." Jawab pedagang yang berlogat Sunda itu.

Baca juga tulisan Niya Blogger Banten: Suami dan Hobi

Aku menyerah, dan membeli saja 1 kg. Sekalian sama kolang-kaling 1/2 kg seharga Rp. 10.000. Sudah itu kami pulang. Pedagangnya bilang begini sebelum kami pergi, "makasih ya Neng.. semoga berkah hidup Neng..." Betapa gembiranya daku Bang....

Sambil di jalan, kami ngobrol tentang juwet tadi. Tampaknya suami belum ikhlas karena belanjaanku itu sama sekali gak ada hasil nawar.

"Bang, kita kalo ke supermarket ada gitu nawar ke kasir? Nggak kan? Biarin ajalah, seribu duaribu yang kita berhasil tawar apa manfaatnya buat kita? Tapi bagi pedagang itu sangat berharga. Denger gak tadi, pedagangnya ngedoain keberkahan buat kita. Udahlah jangan nawar pedagang kecil... Biar berkah hidup kita."

"Iya juga ya. Betul itu Neng." Ungkapnya.

Dalam beberapa kesempatan belanja di pasar, kadang suami menegur "Kok nggak ditawar sih?"

Aku pun nyengir saja, bukannya mau pamer putihnya gigiku tapi memang kelemahanku adalah tak pandai menawar apalagi ke pedagang kecil. Ya kalau pedagangnya "mudah" ditawar ya nggak apa-apa. Tetapi kalau dia nggak ridho, kita sebagai pembeli jangan maksa. Berjual-beli itu harus sama-sama ridho... Jangan sampai ada yang terzalimi.

Postingan ini untuk memenuhi tugas kedua Menulis60hariBloggerBanten

Sabtu, 01 Desember 2018

Titip Anak Saya ya....

"Titip anak saya ya Umm..." Kata beberapa wali santriwati​ sebelum mereka pulang dengan meninggalkan putrinya di pesantren.

Aura keharuan memancar, betapa sedih dan mengharukannya momen ini. Saat orang tua, terutama ibu harus 'berpisah' untuk sementara demi anaknya bisa belajar jauh dari rumah.

Meninggalkan anak di pesantren adalah sesuatu yang berat dirasakan tak hanya oleh orang tua, bagi sang anak berpisah sementara dari rumah adalah ujian yang terasa berat. Setiap hari teringat suasana rumah, rindu ayah-ibu, teman-teman dan tentunya fasilitas yang biasa ada di rumah.

Sedangkan di pesantren, fasilitas itu terbatas. Setiap hari hanya bertemu asrama, masjid, majelis, halaqah, ngaji dan ngaji lagi. Tak ada waktu untuk hang out dengan teman-teman sepermainan. Mungkin membosankan, ya?

Sebagai orang yang diamanahi menjaga mereka di pesantren, saya kadang merasa sedih. Betapa kuatnya anak-anak ini meski jauh dari keluarganya. Makan dan jajan kadangkala kurang, pelajaran juga tak selalu mudah. Mereka menghadapi banyak problematika remaja tapi tidak bisa dekat dengan ayah ibunya.

Maka, sebagai orang tua yang menitipkan anaknya ke pesantren, hendaklah untuk selalu mendoakan anak-anaknya. Menitipkan anak tidak bersifat mutlak, sebab pendidikan utama adalah dari dalam rumahnya. Bagaimana anak belajar kemandirian, keterampilan dasar dll sebenarnya adalah tugas orang tua sebelum anak masuk pesantren.

Jika orang tua dan pengasuh serta guru di pesantren bekerja sama dengan baik, insya Allah anak pun akan menjadi lebih baik...

#bloggerbanten

Tugas Blogger Banten

Senin, 02 April 2018

Wader Picek


Sios waktos, wenten jejake tue sing boten medamel. Saban dinten ning griye saos. Ibune kesel ningalane. Laju Kabayan dikongkon ibune mancing iwak wader picek. Kabayan linggar ning kali, ngebakte alat pancingan lan ember.

Sampe ning kali, Kabayan mancing. Antuk iwak wader sios, ditingali matane

"Gale iki mah ore picek? Buang bae lah." PLUNG! Dibalangaken iwake malih ning kali.

Mancing malih, antuk iwak wader tapi boten picek.

"Tak colok bae tah matane kien endahan picek?" Kabayan bingung.

Sampe sore mancing, boten antuk wader picek. Antuke sing seger langsung dibalang sedanten ning kali. Kabayan mantuk. Embere kosong. Ibune ngamuk.

"Gusti Kabayan sire kuen dadi uwong aje bloon-bloon amat sih. Pribasane kuen daripade ning umah bae bengong doang mending gelati pegawean. Senajan ulehe iwak wader picek tah ore pape!" Cepe ibune Kabayan.

Kabayan emang dasar nurut ning ibune dadi bener-bener milari wader picek. 😁

Rabu, 21 Maret 2018

Motivasi Menulis dari Drama Waikiki

Drama Waikiki Eps 11 berkesan sekali buat kita yang merasa senang menulis, tetapi belum makmur seperti penulis terkenal. Makmur secara finansial maksudnya. Karena seperti yang kita tahu, jadi penulis itu sebuah proses. Kalau mengharapkan bisa langsung jadi penulis hebat dalam waktu singkat dan uang datang berlimpah ya mending putar haluan aja jadi tukang tahu bulat. Dijamin kaya raya apalagi kalau jual sotong dan baso goreng juga.





 

Soo Ah menganggap hidup Du Shik memprihatinkan karena Du Shik hanya menulis novel online tanpa dibayar. Tapi Du Shik melakukannya karena dia hanya suka menulis.

Simak kelanjutan percakapan mereka: 






 

Meski orang lain meremehkan pekerjaan menulis yang kadang tak ada hasilnya berupa uang, selama kita bahagia melakukannya ya tak usah peduli apa kata orang. Terlebih lagi bagi saya pribadi, menulis itu berarti sedang membuat warisan sejarah untuk anak cucu saya kelak. Supaya mereka bisa mengenal leluhurnya meski saya sudah hancur bersama tanah. Amal jariyah. Jangan lupakan itu.


Selasa, 20 Maret 2018

Blogger Pancasilais

Belakangan ini kita banyak mendengar orang berkata tentang apa itu Pancasila, menurut penafsiran masing-masing. Seseorang merasa dirinya paling Pancasilais dengan kriteria yang mereka bangun sendiri. Sekadar hafal teks Pancasila maka dianggap sudah selesai. Tidak.

Siapa manusia Indonesia yang paling Pancasilais kini? Saya merenung cukup lama, sangat lama. Apakah seorang yang senantiasa berteriak "Mari junjung tinggi nilai-nilai Pancsila!" sudah bisa disebut sebagai manusia yang Pancasilais? Atau yang kemana-mana menyebarluaskan slogan "Kembalikan Ideologi Pancasila!" sudah lebih hebat dibanding masyarakat negeri ini yang bahkan tidak hafal sila-sila Pancasila itu sendiri? Ah, bahkan masih banyak yang buta aksara tampaknya.

Kemkominfo bekerja sama dengan Provinsi Banten menyelenggarakan Flash Blogging dengan tema "Mengimplementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Bermedia Sosial", mempertemukan para blogger se-Banten pada hari ini, 20 Maret 2018 yang bertempat di Hotel Le Dian, Serang. Bertujuan agar para blogger bisa bijak dalam bermedia sosial.

Bermedia sosial juga harus menerapkan nilai-nilai Pancasila, bukan asal nulis yang bisa jadi mengandung hoax. Berita hoax memang berpotensi memviralkan sebuah tulisan, tetapi apa manfaatnya bagi masyarakat? Telur palsu, beras plastik, dan sebagainya, hanya membuat masyarakat panik dan merugikan banyak pihak.



Dalam acara tersebut, Banyumurti memaparkan bagaimana cara menyusun blog. Desain, fitur dan yang tak kalah penting yaitu konten. Konten blog yang baik adalah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan kita senang saat menulisnya.

"Jangan ngeblog kalau nggak happy." begitu ungkapnya.

Selain itu Banyu juga menjelaskan empat faktor penting dalam menulis di blog, yaitu:
* Listen : Dengarkan apa yang terjadi di masyarakat, apa yang menjadi isu. Maka tulislah itu.
* Focus: Kita harus fokus menulis kategori dalam blog kita, misalnya: kuliner, parenting, pendidikan.
* Consistent: Yang tak kalah penting adalah konsistensi dalam menulis.
* Unique: Kita menjadikan blog kita unik, punya branding yang catchy.

Panelis kedua, Diasma Sandi Swandaru menjelaskan dengan penuh semangat tentang "dakwah Pancasila". Termasuk dalam menulis blog pun, kita jangan melupakan nilai-nilai Pancasila. Sebab menurutnya, Pancasila saat ini sudah mulai hilang dari pelajaran formal sekolah.


Tiba-tiba saya teringat pada sosok seorang pemuda yang wafat 49 tahun yang lalu, Soe Hok-gie. Dia mempertanyakan siapa manusia yang paling Pancasilais dan patriotis? Dia yang kecewa karena teman-teman seperjuangannya ternyata oportunis dengan mengambil jabatan di sisi Pemerintahan yang baru. Maka menurutnya, tidak akan bisa disebut Pancasilais jika seorang aktivis sudah memasuki dunia kekuasaan, sebab mereka akan tidak objektif mengkritik penguasa dengan segala kebijakannya.

Baginya seorang aktivis adalah seperti koboi, yang datang menyelamatkan kekacauan di suatu kota, lalu pergi setelah kota itu damai kembali.

Begini kutipan dari kalimat Soe Hok-gie:

"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."

Zaman now begini, zaman ketika hampir semua orang ingin menjadi yang terdepan dalam mereportase suatu peristiwa, sudah seharusnya menjadi blogger yang punya idealisme demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan menyebarkan berita bohong dan provokasi.

Jadilah blogger Pancasilais, menulis untuk kebaikan.

 



#flashbloggingbanten



Selasa, 06 Maret 2018

Makna Pernikahan-Part 2




6/31


"Menurut Yuni, pernikahan itu apa?" Tanya sang pengantin baru padaku.

Aku tak segera menjawab. Kali ini, aku akan menuliskannya. Makna pernikahan, bagiku.

Pernikahan adalah persahabatan sejati lelaki dan perempuan yang direstui Allah dan penduduk semesta. Bila akad nikah telah terucap, setan akan berusaha sekuat mungkin untuk memisahkan mereka.

Pernikahan adalah saling berbagi dan melihat diri kita sendiri secara lebih jujur. Siapa diri kita sebenarnya.

Suami/istri, adalah garwa (sigaraning nyawa) atau belahan jiwa. Yang jika sudah saling mengenal, tanpa dia mengungkapkan apa maunya dan apa yang dipikirkannya, kita sudah tahu.

Saya lebih senang memaknainya seperti itu. Pernikahan bukan tentang aku atau kamu yang berkuasa. Bukan tentang aku atau kamu yang harus mengerjakan ini dan itu. Akan tetapi, pernikahan serupa sahabat yang mau saling memikul dan menopang ketika salah satunya lemah. Hingga nanti tutup usia. Hingga nanti bisa bertemu di surga-Nya.

#RBMenulisBanten
#ODOP31Hari
#TantanganMenulis

Senin, 05 Maret 2018

Makna Pernikahan- Part 1



5/31

Seorang perempuan berusia 35-an beranak tiga itu tampak selalu ceria dan humoris. Kadang latah "eh macan urip!" jika dipanggil secara mendadak. Dia bercerita tentang awal mula pernikahannya dengan sang suami yang duda beranak dua.

"Teteh dulu perawan, kok mau nikah sama duda yang punya anak?" Tanyaku.

"Orang zaman dulu mah, namanya dijodohin sama orang tua. Jadi segan buat menolaknya."

"Cinta gak Teh?"

"Nggak. Sampe sekarang juga nggak."

"Lho kok gitu sih Teh?"

"Nggak cinta, tapi sayang. Lebih baik sayang daripada cinta. Cinta mah kayak gitu doang. Kalo sayang, kan, selamanya."

Hm... Iya, itulah makna sakinah mawaddah warohmah. Sakinah artinya tenang, mawaddah artinya kasih dan rohmah artinya sayang. Maka meski sang suami sudah beranjak tua sedangkan istri masih enerjik, ya tetap setia sama suaminya. Bisa jadi penampilan suami sudah tak menarik untuk dicintai, tapi dengan adanya kasih dan sayang, istrinya selalu sabar bersamanya. Begitu pula sebaliknya, maka kalau ada suami yang woles aja dengan istrinya yang dulunya cantik langsing berubah jadi ndutz, gak usah heran. Itu karena ada kasih sayang di antara mereka.

Rumah tangga mungkin tak selamanya adem ayem dan tenang (sakinah), tapi masih ada mawaddah dan rohmah yang menahan pasutri untuk melakukan hal-hal keji (misal: KDRT, cerai). Pernah bertengkar dengan pasangan? Pernah ngambek berhari-hari? Pernah kabur ke rumah orangtua? Atau pernah curhat masalah rumah tangga ke orang lain? Itu tandanya rumah tangga sedang tidak sakinah. Tapi masih peduli untuk memasak buat suami, masih mau mencucikan bajunya, masih taat saat diperintah meski cemberut, masih cemas ketika suami di luar kehujanan atau nggak, dan kepedulian lainnya. Itu tandanya rumah tangga yang masih diliputi mawaddah dan rohmah. Maka berbahagialah....

#RBMenulisBanten
#ODOP31Hari
#TantanganMenulis

Kamis, 22 Februari 2018

Tentang Pelakor


"Coba nulis tentang pelakor, Mu." Kata Abah--my goblin Abang ganteng.

Hm, setelah pagi tadi sempat berdebat tentang penggunaan istilah pelakor, saya bilang "males" menulis tema tersebut. Menurut saya, "Kenapa sih perempuan terus yang disalahkan? Kan suaminya juga yang harusnya disalahkan. Lagian suami itu manusia, bukan benda yang bisa diperebutkan. Kalau si suami gak mau direbut, ya dia pasti tetap memilih istrinya lah."

"Nggaklah, suami ga salah." 
Tuh kan, diskusi gak jelas jadinya.

"Kesannya laki-lakinya hebat dan keren gitu. Berasa punya nilai jual tinggi hingga diperebutkan dua perempuan."

"Iya emang lelaki mah keren." Dua lawan satu, saya pasti kalah diskusi dengan Abah dan Ami Suni. Mereka kan sekongkolan.

"Halah, pede banget. Lihat aja berita-berita pelakor. Apaan kali yang disukai dari lelakinya. Kebanyakan mereka itu jelek-jelek kok."

Riuh mereka. Apa tersinggung? 

"Kadang yang dicari bukan gantengnya aja Mu, tapi kenyamanan." Kata Ami Suni.

"Beuh.. Iya juga sih kalau udah bicara nyaman nggaknya. Lha gimana gak nyaman, kalau si lelaki itu kaya?" Iya gak sih. Iya-in aja.

Tapi sore ini diskusinya lebih serius sama Abah. Pelakor itu ada yang syar'i nggak? Abah memulai tanya.

Saya jawab, ada. Tapi istilah pelakor itu gak tepat dalam Islam. Lebih tepatnya poligami. Itu baru syar'i. 

Ada hikmahnya kenapa harta istri hanya untuk istri, dan harta suami untuk istrinya juga. Karena antar istri tidak saling mewarisi, begitu pun anak-anak mereka. Karena yang wajib mencari nafkah itu suami, buat para istrinya.

Trus, hubungannya sama pelakor?
Entahlah ada hubungannya atau nggak. Yang jelas sih, saya gak suka istilah itu. Kesannya perempuan yang mau jadi istri kedua sampai keempat itu jahat banget, padahal kalau mereka berniat menikah kan ya udah biarin aja. Toh lelaki juga punya kuota sampai 4 istri kok. Kenapa istri pertama sewot? Lalu ngamuk, trus ngelabrak si target. Padahal, ada lho, istri ngamuk sama "pelakor" padahal dulunya dia nikah sama suaminya juga hasil dari melakor. Cuma istri yang dulu rela ngelepasin suaminya. 

Sejak kapan istilah pelakor ini viral? Sejak istri yang gagap teknologi, dia menyebar aib suami di medsos mencari simpati para perempuan lain supaya dikasihani dan boom.... Satu persatu berita lainnya bermunculan. Saya curiga, jangan-jangan bentar lagi bakal ada lagu dangdut koplo berjudul pelakor?

Apa salahnya suami jatuh cinta pada perempuan kedua, ketiga dan keempat? Apa bedanya dengan jatuh cinta pada perempuan pertama yang menjadi istrinya? Hanya perbedaan waktu kan? Yang salah itu kalau sampai melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau nikahnya baik-baik, artinya 3 keluarga besar merestui,insyaAllah gak akan ada ribut tentang pelakor ya kan?

Cuma, perlu tarbiyah terus menerus. Gak asal comot dalil poligami trus menyengsarakan istri pertama. Laki-laki itu kalau gak punya iman, emang seenaknya sih. Makanya carilah suami yang soleh, gak asal ganteng. Ganteng kalau dia srigala kan bahaya? Lagian punya suami ganteng dan kaya itu cobaannya berat kalau kita tipe perempuan pencemburu. Yang penting cari suami soleh, yang selalu cukup.
Cukup rezekinya
Cukup gantengnya
Cukup aku aja istrinya


Hehehe....
Yuni Astuti
Serang, 22 Februari 2018

Senin, 12 Februari 2018

Tentang Me Time



Tentang Me Time

Apa sih “Me Time”? Kedengerannya seperti merk biskuit gitu. Bahasa mudahnya sih, “Waktu buat diriku sendiri”biasanya emak-emak zaman now yang sering ngomong begini. “Aku butuh me time agar aku bahagia. Kalau aku bahagia, keluargaku juga bahagia.”. hehe....
Saya sangat setuju bahwa setiap orang (bukan hanya emak) butuh “me time”, supaya tetap punya ruang untuk diri sendiri. Bisa macam-macam ya “me time” itu, bisa ke salon, shoping, baca buku, nulis, traveling, naik gunung, pengajian, ikut seminar, main game, dll. Atau sekadar nongkrong di toilet pun bisa jadi “me time”.
Tujuannya? Emang kenapa sih kita perlu waktu buat sendirian? Waktu jomblo pengen nikah. Sekarang udah nikah, pengen punya ruang buat sejenak “menjauh” dari suami dan anak-anak. Emangnya pernikahan sebegitu membosankan hingga para emak menuntut “me time”?
Jangan nyinyir deh buk,  kita tuh butuh me time biar bahagia! Lha, emangnya selama ini sama suami dan anak-anak gak bahagia?
Saya nggak nyinyir, Cuma mempertanyakan aja sih. Kalo skripsi kan ada pendahuluan, ada pokok masalah dan pemecahan masalah. Kita mesti tahu tuh, tujuan “sendiri sejenak” itu buat apa? Okelah, buat bahagia. Lalu selama ini gak bahagia gitu? Ini pertanyaan mendasar aja sih. Jangan sampai salah kaprah memahami “me time”.
Saya sendiri, butuh banget yang namanya “me time”. Alasannya, karena setelah menikah saya tetaplah saya. Gak lantas mengubah saya jadi istri dan ibu semata. Semua tahu bahwa dunia emak itu rempong, apalagi yang baru punya bayi. Tidurnya aja digosipin. Serius! Coba aja deh, baru lahiran, bayi masih merah, kita tidur siang. Bisa jadi materi curhat ke mamah dedeh itu. Kalau malem tidur kelewat pulas, juga dikomentarin. Besoknya kalau bayinya bentol sedikit aja kena gigitan nyamuk, ibu yang akan disalahin! Padahal yang gigit kan nyamuk, bukan si ibu! Kenapa bukan nyamuk yang dipidana? Jadi emak baru lahiran harus setrong kayak kalong. Iya setrong, setres tak tertolong!
Apalagi di zaman medsos gini, gak keluar rumah pun kita bisa tahu dunia pergosipan udah ngalahin kecepatan boboiboy galaxy. Kanan kiri depan belakang pun tahu apa yang terjadi sama kita. Harus punya mental sekuat boboiboy tanah. Ups! Ini ketularan anak gue nih nonton boboiboy mulu.
Makanya kunci kebahagiaan di zaman now itu ada tiga. Satu, sabar. Dua, syukur. Tiga, jangan baper.
Kembali lagi ke “me time”. Gini ya, semua orang punya hobi kan ya? Macem-macem hobinya; miara burung, mancing, main game, main PES, baca, nulis, ngoprek komputer, dll. Oya itu hobi mancing, pernah ya saya lewat kolam pancing pas Idul Adha. Itu ada bapak-bapak anteng mainan pancingan. Seketika saya langsung berkesimpulan, itu istrinya sabar banget. Hahaha.... lagian lebaran-lebaran mancing! Di rumah ada daging kambing tuh. Ada juga yang hobi miara burung. Burung seharga goceng sampai seharga emas 1 gram pun akan dibeli. Bahkan meski harganya setara motor, kalau seneng pasti bakal dibeli. Kepuasan cuy! Puas kalau pagi-pagi denger suara kicau burung, daripada denger omelan istrinya melulu kan?
Nah, sebelum menikah, kamu, iya kamu. Punya hobi apa? Apa? Lupa? Temukan apa yang menjadi passion kita. Sesuatu yang membuat kita berbinar-binar bahagia saat melakukannya. Dan kebahagiaan ini tak bisa disamakan dengan kebahagiaan pernikahan. Ini dua hal yang berbeda, tidak saling bertentangan. Ya asalkan tahu diri aja sih. Mentang-mentang hobinya baca buku, lalu baca buku terus 24 jam gak ngopenin anak dan suami. Tahu-tahu kamu kaget lihat suamimu rambutnya putih semua. Ubanan, kelamaan nunggu kamu baca terus. Gak sadar udah 50 tahun kamu habiskan buat baca. Wadaaaw!
Sebelum melakukan “me time” ada baiknya kita harus komunikasi sama suami. Aku mau me time dulu nih, tolong jagain anak-anak ya bentar. Nah, kalau suami bisa ngerti, asyik banget. Suaminya mengerti, bahwa istrinya udah meluangkan banyak waktunya di rumah bersama anak-anak, segala pekerjaan rumah dll, saatnya dia santai tanpa gangguan anak dan suami, kan bahagia.
Asalkan, pilih “me time” yang bermanfaat ya. Misalnya ikut pelatihan menulis bareng FLP. Hehehe....

Senin, 05 Februari 2018

Tentang Romantis


Saya sedang mencuci labu siam ketika suami pulang dari masjid Ashar ini dan menghampiri saya.

“Sini, Abah mau ngomong. Serius!” Wajahnya tumben gak ada senyum. Bener-bener seriuskah?

Aku digandengnya, mau diajak bicara berdua.
“Di sini aja, di kamar ada anak-anak.” Katanya sambil duduk di ruang tengah. Aku pun ikut duduk di depannya.

“Ya, mau ngomong apa?” Tanyaku sambil masih menggerakkan tangan. Dia menyuruhku diam, jangan melakukan gerakan apapun. Karena ini serius sekali.

Kan jadi takut, mau ngomong apaan sih? Jadi penasaran...

“Ini serius.” Katanya lagi
 “Iya... Serius. Apaan sih?”
Dia menarik napas, lalu ujarnya, “I Love You.”
“Hah? Apa lagi?”
“Udah.”
“Hah?”
“Itu serius tau!”

“Oh.... Iya.” Aku menahan tawa. Dapat ilham dari mana suamiku itu, kok bisa ngomong i love you. Biasanya kan saya yang suka gombalin dia. Hihihi...

Tentang romantis. Saya sudah lupa atau lebih tepatnya gak peduli lagi. Serius. 8 tahun kurang 5 bulan pernikahan, rasanya udah gak merasa penting lagi buat romantis-romantisan. Apa yang lebih penting?

Kasih sayang. Saling mengasihi, saling menyayangi. Di awal-awal sih iya ngarep diromantisin, tapi karena tipe suami cuek aja bukan tipe pujangga yaudah capek lah kalau berharap isi dunia ini adalah romantisme belaka. Yang penting sikapnya baik, sabar, pengertian. Udah cukup.

Awal-awal pernikahan juga masih sering bete tuh kalau nulis status FB jarang dikomentarin. Sekalinya komentar, Cuma “sip” “oke”. Padahal lihat pasutri lain mah kadang kelihatan romantis pisan di FB. Panggilan sayang, foto mesra, hadiah ini itu.

Tapi sekarang mah udah lebih tenang menjalani hidup. Biarin aja rumah tangga orang mau romantis kayak Kahlil Gibran geh sok aja. Mau mesra kayak apaan juga foto-fotonya bodo amatlah, syukurlah mereka bahagia. Semoga bahagia betulan, bukan pencitraan. Hehe.

Setiap keluarga punya standar romantis berbeda-beda. Lagian lah buat rakyat jelata macam saya mah, yang penting hari ini bisa makan. Kan tau sendiri beras sekarang harganya tinggi banget. Biasanya harga 280 ribu itu berasnya enak, eh ini apek bau tengik. Nasib....nasib.....

Belum lagi harga lainnya. Lah, kenapa romantis nyambungnya ke harga perdapuran? Soalnya..... Urusan keuangan ini berhubungan dengan keromantisan. Kalau uang belanja dirasa kurang, yang ada saat digombalin bukannya seneng malah ngamuk.

Karena kalau suasana hati lagi bete, kesel, gak ridho, jangankan diromantisin, diajak jalan-jalan ke bulan aja gak mau. Makanya, penting banget para istri untuk qonaah.
Dapet suami cuek, qonaah.
Dapet uang belanja kurang, qonaah.

Yang penting keluarga tak pernah kehilangan senyum dan tawa. Maka peliharalah kehangatan itu, senyum dan tawa itu, meski bagaimanapun kondisinya. Jika sesekali kau menangis tak apa. Ingatlah bahwa setiap tetes airmata itu, konon kabarnya mengandung racun yang bagus bila dikeluarkan.

Jadi tak apa menangis, asal jangan lupa untuk tersenyum. Terutama kepada suamimu, anak-anakmu, juga dirimu sendiri, juga pada murid-muridmu, teman-temanmu, tukang sayur, tukang konter, penjaga warung pecel, tukang beras, dan tak lupa kasir Alpa dan Indo.
Sekian.

Kamis, 25 Januari 2018

FLP Selalu di Hati



Andai saja hari itu aku tak bertemu dia, mungkin saat ini aku tak akan bersama kawan-kawan FLP. Aku mengikuti ekskul Rohis, dengan segala keterbatasan akan ilmu agama. Tiba-tiba seorang teteh alumni yang sering datang ke sekolah, bertanya

“Siapa yang hobi nulis?”

Teman-teman langsung menunjukku. “Yuni nih Teh.” Aku lalu membenarkan. Ya, bagiku menulis adalah hobi yang sudah sejak SD kutekuni.

Teman-teman sekelasku di SMP selalu menyemangati dengan cara membaca apa saja yang kutulis di buku bekas. Pokoknya nulis ajalah, tentang isinya aku belum begitu memikirkan. Tak memedulikan isi serta EYD, yang penting nulis!

“Nah, ikut FLP aja. Kebetulan lagi pembukaan nih. Hari Minggu di Ciceri.” Infonya. Aku menerima selembar pamplet, yang kusimpan dengan baik dengan harapan nanti aku akan datangi dan daftar kelas menulisnya.

Pada dasarnya aku ini anak desa yang tak pernah ke kota. Apalagi sendirian. Ciceri itu lumayan jauh, harus ditempuh menggunakan bus kecil dengan ongkos masih limaratus. Benar-benar ini pertama kalinya aku pergi jauh, padahal jarak dari rumah paling Cuma sepuluh kilo sih. Kan aku anak desa...

Merasa paling cupu di antara yang lain, rata-rata anak SMA favorit yang penampilannya saja keren. Terlebih lagi mereka itu aktivis di sekolahnya. Sedangkan aku mah anak Rohis ikut-ikutan, yang secara penampilan belum pantas disebut ‘akhwat’, tapi nggak lantas disebut ‘ikhwan’ laaaah.

Pembukaan Training Menulis ini bertepatan dengan bedah buku “Panggil Aku Bunga” karya Teh Najwa Fadia dan Kak Ibnu Adam Aviciena. Ini acara seru sekali, aku saja kebagian doorprizenya, sebuah buku –yang sekarang hilang entah dimana akibat dipinjam tapi lupa dikembalikan.

Sejak itu aku bergabung dengan Forum Lingkar Pena. Setiap akhir pekan pergi ke kota untuk mengikuti pelatihan menulis, dengan ongkos yang sengaja diawet-awet seminggu sebelumnya. Nggak jajan demi bisa nabung buat ongkos hari minggunya. Sejak pagi sampai Zuhur belajar di sebuah mushola, lalu siang sampai sore ke Rumah Dunia, ikut kelas menulis juga dengan pemateri Mas Gola Gong dan lainnya. FLP dan Rumah Dunia tidak bisa dipisahkan, sebab kebanyakan anak FLP itu dibina oleh Rumah Dunia. Contohnya Teh Najwa

Hari demi hari terlewati. Aku sangat menikmati kesibukanku dengan beragam kegiatan di FLP. Mengerjakan tugas di rental komputer, saat itu masih zaman disket. Sekalinya sudah musim Flashdisk, komputer tidak bisa menerima disket, itu aku sedih sekali. Apalagi dibilang oleh pemilik rentalnya, “Hari gini udah gak zaman disket! Pake flashdisk dong....” aku hanya bisa berdoa semoga kelak punya flashdisk.

Sebenarnya aku aktif di ekskul Paskibra juga. Bertepatan pula latihannya tiap hari Ahad. Aku sering kena tegur temanku yang sudah menjabat sebagai pengurus.

“Kamu ini sibuk terus, udah nggak aktif lagi latihan Paskibnya?” tanya Denardo.
Aku nyengir. Belum lama ini menerima lencana bunga teratai putih perlambang sudah jadi capas yang artinya tak lama lagi akan naik pangkat menjadi anggota Paskibra. Namun mau bagaimana lagi, tubuhku tidak bisa dibagi dua!

“Udahlah gini aja, kamu mau pilih Paskib atau FLP!?” tanyanya lagi.
“Nar, aku pengen dua-duanya, gimana?”
“Lah, kamunya aja nggak aktif terus! Gimana mau jadi anggota Paskibra kalau sering bolos latihan?”

Aku mengembuskan napas. Mungkin ini soal waktu saja untuk melepas salah satunya, dan aku tak perlu berpikir dua kali untuk memertahankan satu, dan melepas satunya lagi.

“Kalau gitu, aku mau keluar aja deh dari Paskib. Aku mau serius di FLP.”
“Yakin? Gak nyesel?”
“Nggak. Lagian meski aku latihan terus, karena badanku ini pendek mana bisa jadi Paskibraka. Jadi aku lepasin aja deh.”

Denardo tertawa, masih berusaha membujukku. Aku menggeleng. Aku tak perlu berpikir bahwa aku lebih suka menulis daripada latihan lari dan beragam latihan fisik lainnya.

“Okelah, keputusan ada di tangan kamu. Semoga kamu betah. Oya, balikin sini lencananya!”
“Lah, kenapa gak buat aku aja sih.”
“Balikin sini ah. Udah copot jabatan capas nya.”

Dengan berat hati, kuberikan lencana yang belum lama ini kuterima dan selalu kupakai setiap hari Senin itu. Maka sejak hari itu aku bisa bebas lepas tanpa beban karena meninggalkan latihan gabungan setiap pekannya. Tak lagi panas-panas lari keliling lapangan. Sekarang berjibaku dengan kertas dan pena. Eh, komputer juga sih. Rental tapi ya...

FLP itu unik. Organisasi kepenulisan, yang sebagian besar pengurusnya yang perempuan berhijab rapi. Kerudungnya panjang, bicaranya santun. Sungguh menyejukkan. Aku pun terinspirasi untuk berpakaian yang lebih rapi.

Mulai kupanjangkan kerudung, mulai sering pakai kaos kaki. Sebab, nilai plus dari FLP adalah dakwah bil qolam. Masa iya mau dakwahin orang lain, tapi kita sendiri belum berproses hijrah?

Kawan-kawan FLP pun semuanya baik dan menginspirasi. Inilah kali pertama diriku kenal dunia luar, dari yang semula hanya kenal rumah dan sekolah. Punya banyak teman yang satu minat. Belajar ilmu kepenulisan dari para ahli, dan ketemu banyak penulis terkenal. Rasanya energi positif itu selalu mengalir tiada henti.

Namun, aku telah lama vakum dari kegiatan FLP. Kesibukan rumah tangga yang cukup menyita waktu, bahkan vakum menulis juga. Namun, dasarnya sudah cinta jadi begitu ada kesempatan Munas 4 FLP di Bandung November lalu, mulailah ingin bangkit kembali.

Menghidupkan lagi FLP Banten dari tidur panjangnya.  Menghasilkan karya lagi yang menginspirasi. Agar lebih banyak orang yang tercerahkan dan akhirnya berminat gabung di forum yang luar biasa ini. Siapa tahu ada anak desa sepertiku yang hobi nulis tapi tidak tahu harus gabung ke mana. Semoga FLP bisa dikenal oleh semua orang.. baik di kota maupun di desa... {*}

*Yuni Astuti

Rabu, 03 Januari 2018

Hebatnya Orang Indonesia; Senyum Salam Sapa



Perjalanan kami berakhir di Palur Plasa. Kami harus berpisah di sini setelah setengah hari menikmati waktu bersama-sama. Friliyo harus pulang ke Ngawi, dan saya ke Karanganyar.

Jalan-jalan Seru di Surakarta

Siang ini janjian dengan adik imut saya dari Ngawi, Friliyo Latuconsino. Ketemuan di Taman Pancasila, lalu naik bus ke Tirtonadi.

Kemudian dilanjutkan naik angkutan online ke kantor penerbit Indiva Media Kreasi, disambut oleh hujan yang cukup deras. Kami berteduh sejenak, lalu jalan 100 m dari Gapura Kerten arah barat. Kami sengaja ingin bertemu Bu Ketua baru FLP, Mbak Afifah Afra. Sekadar silah ukhuwah dan disuguhi secangkir teh rasa lemon hangat.

Keramahan dan keteduhan wajahnya membuat saya merasa betah, apalagi sedang ada diskon 50% untuk novel. Aih sayang sekali gak bawa uang lebih, jadi gak bisa borong 😁.

"Mampir ke rumah, nanti saya traktir makan malam." Kata Mbak Afra. Sayang sekali, saya gak bisa lama-lama ngobrol dengan beliau, sebab rumah saya jauh jadi takutnya kemalaman.

Dari sekian puluh menit perbincangan hangat itu, Mbak Afra berpesan, "Jangan terfokus untuk membuat event besar, target ratusan orang tapi melupakan esensi FLP itu sendiri. Yakni, belajar bersama. Kumpul saja, belajar bersama, tapi rutin. Ke depannya nanti bisa membuat acara apa saja."

Hujan belum juga reda. Kami berdua (saya dan Friliya) diantarkan oleh salah satu karyawannya ke halte bus Trans Solo yang tak jauh dari kantor. Terima kasih Mbak Afra. 😊

Pulangnya naik bus Trans Solo, berhenti di Palur. Saya melanjutkan pulang ke Karanganyar, Friliyo kembali ke Ngawi.



Because This Is My First Life; MIRIS!


Selesai juga nonton drama yang sering bikin ketiduran saat menontonnya😁. Gimana ya, romantis lucu dan gemesin banget.

Tersebutlah Nam Se-Hee (Lee Min Ki) seorang developer app yang sangat cuek dan hanya memikirkan cicilan rumah dan kucingnya. Bertemu dengan Yoon Ji-Ho (Jung So Min) seorang asisten penulis skenario yang gak punya rumah.

Awal nonton drama ini karena suka sama profesi tokohnya, penulis skenario. Dan lumayan bikin senyum-senyum sendiri sih, gemes sama Se-Hee yang ampun deh kuat banget sepanjang 15 episode cool gitu. Baru di episode 16 aja dia punya emosi. Hihi.


Ada 3 hal tidak baik yang tampak jelas dalam drama ini, yaitu:
1. Seks bebas itu udah biasa.
Karena itu di awal episode selalu muncul warning: tayangan ini sebaiknya ditonton untuk 15 tahun ke atas, karena kalau anak kecil nonton ini bisa-bisa ditelan bulat-bulat pesannya. Seks bebas yang dilakukan Soo Ji seakan sudah biasa, meski pada akhirnya dia memutuskan untuk menikah. Terbukti kan ya, seks bebas itu gak membahagiakan.

2. Kumpul Kebo udah biasa.
Ho-Rang dan Won Seok juga melakukan gaya hidup barat. Kumpul kebo itu kayak biasa banget. Apalagi ada perbedaan pemikiran soal pernikahan. Cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. 

3. Kawin kontrak.
Dulu pernah nonton Full House yang berkisah tentang kawin kontrak. Ini gara-gara Ji Ho pengen ngontrak rumah dengan harga hemat, dia kawin kontrak. Tapi Se Hee juga nyebelin, cuma biar ada yang ngurus kucingnya dan bantu bayar cicilan rumah, dia nikah. Woy istri tuh tulang rusuk, bukan tulang punggung. 


Ini tuh semacam realita sosial masyarakat Korea, yang anak mudanya tidak terlalu mementingkan pernikahan. Ribet, tradisi kolot, harus tanggung jawab soal anak dan ini itu lainnya. Maka gak heran kalau mereka ini malas menikah. Ngapain? Wong seks bebas aja bisa kok memenuhi kebutuhan biologis. Miris kan?

Tapi ambil baiknya aja, kalau saya sih terus terang jadi makin cinta sama suami 😍 karena ya sebenarnya setiap rumah tangga mah ada aja ujiannya. Tapi toh kita harus bisa bertahan. Merasa punya suami cuek? Tenang... Bersyukur aja, yakin deh gak akan secuek dan sepelit Se Hee. Hihihihi......

Soto Solo; Murah dan Mengenyangkan



Hujan memaksa kami berteduh pagi itu, tepat di depan warung soto. Tak ada niat makan soto tadinya, tapi sepertinya enak juga hujan-hujan begini makan soto yang panas. Sip lah.

Kami masuk dan pesan dua porsi. Satu porsinya Rp. 6000. Waw murah sekali...
Begitu dihidangkan, dalam satu mangkok sudah ada nasinya ternyata. Sotonya bening, tak seperti di Banten, hehe.

Ibu mertua saya sering membuat soto untuk hidangan lebaran. Bahannya daging sapi atau ayam, dengan tambahan sayuran tauge, daun bawang dan seledri serta taburan bawang goreng. 

Bumbunya juga sederhana, hanya bawang putih, garam, daun jeruk dan serai. Alhamdulillah setelah kenyang sarapan soto, kami melanjutkan perjalanan...

Keesokan harinya diajak Bapak ke warung. Ini di luar prediksi, ternyata warungnya banyak berisi mbah-mbah alias aki-aki dan bapak-bapak yang sarapan sebelum pergi ke ladang. Fiuuhh.... Malu saya, emak-emak nyempil di warung mbah-mbah. Dan saya pesan soto lagi, dengan penampakan yang mirip dengan soto yang saya beli sebelumnya di tempat lain. 


Wedang Ronde



Kami baru saja selesai solat Ashar, mendadak hujan turun. Jadilah kami duduk lagi di teras masjid Agung Karanganyar.
Saat cuaca begitu dingin karena hujan, wedang ronde menjadi teman yang sangat nikmat. Air jahe dengan kacang tanah, irisan kolang-kaling dan biji salak terasa manis dan gurih. Harganya murah, cuma Rp. 5000.

Wedang ronde ini menurut sejarahnya berasal dari tradisi Chinese yang menjadikan wedang ronde sebagai persembahan di upacara peribadahan mereka.