Betapa sulitnya
lisan ini untuk menjawab sebuah pertanyaan: Mengapa? Terkadang, jawabannya
diawali dengan : KARENA….
Namun,
saya merasakan kadang mengucapkan “karena” tidak semudah menuliskannya. Ada banyak
hal yang menghalangi kita untuk mengungkapkan segala hal dengan gamblang. Apa kau
pernah merasakannya?
Dalam hal
apapun, ketika kita telah memutuskan sesuatu, biasanya ada saja orang yang
bertanya, mengapa kita melakukan itu. Istilahnya apa, kepo gitu ya? Ya wajar
sih, namanya saja manusia, pasti ada saja rasa ingin tahunya. Apalagi kalau
sesuatu yang diputuskan itu bertolak belakang dengan kenyataan yang selama ini
tampak jelas.
Saya kasih
contoh, misalnya, ada seorang wanita yang selama ini menampakkan bahwa dirinya
baik-baik saja, dalam kondisi bahagia. Suatu kali, kita mendapati kenyataan
bahwa dia membunuh anak-anaknya. Ini kisah nyata lho, pernah ada kejadian kayak
gini. Maka yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah, mengapa dia
melakukan itu? Seorang ibu yang bahagia kok bisa-bisanya membunuh anak-anaknya?
Kalau kita
tidak mendapat jawaban yang memuaskan, atau kalaupun kita mendapatkan jawaban
tapi tidak sependapat dengannya, maka apa yang akan muncul lagi dalam benak
kita? Biasanya: justifikasi.
“Ah
dasar itu ibu sudah gila. Mana mungkin ada ibu yang tega melakukan itu!”
“Sungguh
biadab dia!”
“Patutnya
dia dihukum seberat-beratnya”
Dan berbagai
justifikasi lainnya.
Hihi…
serem juga ya kalau bicara tentang bunuh-bunuhan. Contoh lain lagi deh, ketika
seseorang memutuskan berhenti dari pekerjaannya, maka orang-orang sekitarnya
akan menanyakan Mengapa. Iya kan? Apalagi kalau misalnya bekerja di sana
profitnya lumayan besar, maka biasanya komentar orang adalah
“Sayang
sekali, kenapa berhenti? Nggak sayang tuh sudah bertahun-tahun bekerja?”
Dan bisa jadi ketika jawabannya tidak memuaskan, yang muncul kemudian lagi-lagi justifikasi. Apalagi kalau keputusan itu mendadak, atau lebih tepatnya karena seseorang itu tidak bicara pada siapa-siapa mengenai keputusan yang hendak diambilnya.
Dan bisa jadi ketika jawabannya tidak memuaskan, yang muncul kemudian lagi-lagi justifikasi. Apalagi kalau keputusan itu mendadak, atau lebih tepatnya karena seseorang itu tidak bicara pada siapa-siapa mengenai keputusan yang hendak diambilnya.
Tak masalah
dengan semua itu, dunia memang dipenuhi dengan beragam karakter manusia, iya
kan? Ketika ada yang kecewa akan keputusan kita, tak masalah. Dan ketika kita
kecewa terhadap keputusan yang diambil orang terdekat kita, percayalah bahwa
dia telah melalui tahapan demi tahapan hingga telah sampai pada puncaknya. Ya mungkin
dia tidak pernah cerita kepada kita tentang prosesnya, hingga kita hanya tahu
endingnya. Tak apa. Itu keputusan dia. Dan
kalaupun kita kecewa, jika dia yakin dengan keputusannya itu maka dia akan
memertahankannya. Tak akan goyah hanya karena teman-temannya menjustifikasinya
demikian rupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁