Cuaca hari ini sedang susah ditebak, seperti dalamnya hati
seorang wanita. Yaah…kadang panas terik, kadang hujan deras. Katanya sih ini
namanya musim pancaroba. Sebab itulah banyak yang ambruk karena daya tahan
tubuhnya kurang fit. Aku termasuk yang kena flu dan sekarang terpaksa harus
mampir ke apotek untuk membeli obat.
Tiba-tiba
saja, saat sedang menunggu antrean, seseorang menegurku.
“Rara? Kamu
Rara, kan? Ah… apa kabar…?” sapanya begitu ramah. Aku agak tak ingat, hanya
mengangguk sopan.
“Kamu
pasti lupa!”
Lagi aku
mengangguk. Dia tersenyum seraya duduk di bangku tak jauh dariku. “Aku ini kan
sahabatmu dulu. Randy…”
Aku terperanjat,
ah masa iya aku bisa lupa pada lelaki ini. Apa karena tampilannya sekarang
lebih kebapakan dan berkacamata serta sedikit lebih gemuk dibandingkan dulu
yang selalu pakai celana jeans, jaket dan tentu saja kurus. Aku benar-benar
pangling dibuatnya. Dan karena itulah kini aku merasa debaran jantungku semakin
cepat dari biasanya.
“Kamu
kok, ada di sini?” tanyaku kaku.
“Liburan
aja. Oya, kamu…sibuk apa?”
“Aku
ngajar…”
***
Randy adalah
pendengar setia radio kesukaanku. Saat kami masih SMA, setiap sore Randy tak
pernah bosan menelepon operator radio untuk berkirim pesan dan lagu. Lambat laun,
aku mengenalnya, karena sering juga bertegur sapa lewat radio itu. Seiring perkembangan
teknologi, kami punya ponsel dan bertukar nomor untuk saling berkirim pesan
yang lebih pribadi. Kehadirannya senantiasa mewarnai hari-hariku di sekolah
abu-abu.
Aku serasa
punya kekasih, sama seperti teman-temanku meskipun mereka bisa bertemu setiap
hari dengan pacar mereka di sekolah. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati,
statusku ini apanya Randy? Apa benar dia menganggapku lebih dari sahabatnya? Sebab
aku merasakan perhatiannya begitu besar, sering menghubungiku, mencandaiku
walaupun kami jarang bertemu.
“Itu
sih namanya TTM-an, Rara…” ujar temanku, ketika tahu hubunganku dengan Randy. “Kamu
itu dianggap apa oleh dia? Pacar nggak resmi tapi mesra banget.” Komentarnya.
Menyakitkan
sekali kalau ternyata benarlah komentar dia. Sejak itu aku tak menceritakan
tentang Randy kepada siapapun. Hingga kami lulus sekolah. Hingga kami masuk
universitas. Kami menempuh studi yang berbeda. Aku tetap di kota ini, sedangkan
Randy pindah ke kota lain yang kultur pergerakannya lebih terasa. Awal-awal
perkuliahan kami masih saling berkirim kabar.
Randy sering
menceritakan tentang teman-temannya, kelasnya, kosannya, bahkan hal-hal tak
penting dia sering kabarkan padaku. Begitupun aku, berusaha untuk selalu
bersamanya meski lewat udara.
Teknologi
semakin maju, sekadar SMS sungguh tak begitu seru. Ada fasilitas media social yang
bisa semakin mendekatkan orang yang jauh. Randy masih tak lupa padaku. Foto-foto
terbarunya terus bermunculan di media itu. Menggambarkan sosoknya yang semakin
kurus, karena katanya sering ikut aksi bareng anak BEM di kampusnya. Syukurlah
Rand, kamu sekarang jadi aktivis mahasiswa. Namun seiring itu pulalah dia
menjadi semakin jauh dariku…
Aku tak
ingin terpaku pada kesendirian itu, meski memang duniaku mendadak sepi tanpa
kehadirannya. Kini semua terasa seperti abu-abu, hambar saja. Hingga seseorang
datang menggantikannya. Bukan lelaki melainkan perempuan, yang kukenal lewat
media social juga. Namanya Bulan.
Ada yang
menarik darinya, Bulan dan aku sama-sama pecinta buku. Karenanyalah pembicaraan
kami lebih banyak tentang buku. Kami pun sering berkirim buku ke rumah
masing-masing. Persahabatan dengannya berjalan dengan baik, sampai suatu saat
dia mengajak kopi darat. Tentu saja aku senang, apalagi jarak kotaku dengan
kotanya tak begitu jauh. Kami memutuskan untuk bertemu di satu titik, dan
terjadilah pertemuan itu.
“Aku
seneng banget kita bisa ketemu…” ujarnya.
“Aku
juga senang. Kamu tinggal di deket sini?”
“Ya,
nanti kamu nginap di kosanku kan?” lalu setelah berbasa-basi kami jalan-jalan. Perjalanan
berakhir kala petang dan aku benar-benar menginap di kosannya. Sederhana, hanya
ada satu kamar dan ruang tamu serta kamar mandi.
“Kamu mau
langsung tidur atau mandi dulu?” tawarnya.
“Badanku
lengket. Mau mandi dulu ya…” lalu aku menuju kamar mandi, segar rasanya terkena
guyuran air setelah seharian berjalan-jalan. Setelah itu aku kembali ke kamar. Bulan
sedang asyik dengan ponselnya, dia senyum-senyum sendiri. Aku duduk di
dekatnya. Agak salah tingkah, dia lalu keluar katanya mau mandi.
Fiuuuhh….
Aku berbaring di kasur. Ponsel Bulan bergetar, tanda ada SMS masuk. Iseng-iseng
aku melihat layarnya, dan terkejut bukan main melihat sebuah nama tertera di
sana: Randy. Apakah, Randy yang ini sama dengan Randy-ku?
Penasaran,
aku buka saja pesan yang masuk itu. Maka terpampanglah riwayat percakapannya
dengan Bulan. Banyak haha-hihi dan ah-uh-ah-uh yang membuat kepalaku pening. Ini
maksudnya apaaaaa? Kucek nomor Randy dalam ponsel Bulan, ternyata memang
nomornya sama dengan nomor Randy-ku. Saat itu juga, aku merasa jantungku seakan
tercabut paksa dari dadaku.
Bulan datang
tak lama kemudian. Tentu saja ekspresiku sudah berubah, dan Bulan menangkap
perubahan itu. “Kamu kenapa?”
“Kamu
yang kenapa!” balasku.
“Hey
hey hey… ada apa sih? Kok tiba-tiba jadi galak gitu?”
“Lan! Kamu
kenal Randy?!” tanyaku tanpa basa-basi.
“Kenal,
memangnya kenapa? Kamu kenal juga?”
“Dia
pacar kamu?” tanyaku lagi.
“Bukan….
Cuma teman…” jawabnya.
“Kalau Cuma
teman, kok bisa begitu mesra? Bahkan….sms-sms itu…. Memalukan!” aku tak sanggup
menahan emosiku. Bulan mungkin tak mengira bahwa aku adalah sahabat Randy.
“Kamu….cemburu?”
dia balik bertanya.
“Nggak
penting Lan.”
Bulan menghela
napas panjang, lalu ia duduk bersila di hadapanku. “Well, oke. Sebelumnya maaf
karena aku nggak nyangka ternyata kalian saling kenal. Aku dengan Randy,
sebatas teman saja. Namun, yah… maaf jika terdengar sangat vulgar, tapi
kenyataannya aku memang dekat dengannya…”
“Termasuk
PS juga?!!” tembakku.
Bulan mengangguk. “Aku anggap itu main-main
saja. Habisnya Randy manja banget sih… suka gitu-gituan kalau SMS…”
Aku pun
menghela napas panjang.
“Tapi
sungguh, aku nggak suka sama dia. Bagiku dia seperti anak kecil, entahlah… Aku
nggak suka sama cowok manja.”
“Oke. Terima
kasih atas penjelasanmu.” Meski rasa hatiku masih berdebum-debum tak karuan,
aku mencoba menenangkan diri. Besoknya pagi-pagi sekali aku pamitan pada Bulan
dan pulang ke rumah. Sejak itulah aku menghapus nomor Randy dari daftar kontak
meski aku masih sangat hafal nomornya. Dia sesekali masih berkirim kabar
padaku, aku tahu tapi tak pernah kubalas. Hingga bertahun-tahun lamanya, hingga
aku nyaris lupa pada peristiwa itu.
***
“Oya,
kamu…sudah menikah?” Tanya Randy. Aku lebih banyak diam sambil berharap kasir
segera memanggil namaku agar aku bisa cepat menebus obat.
“Belum!”
jawabku.
“Sama
dong… Aku juga belum.”
Terus kenapa?
Bahagia gitu karena menemukan teman yang masih jomblo? Hah!
“Kamu
tak pernah lagi membalas pesanku, Ra… Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Kenapa
kamu nggak pernah cerita?”
“Ibu
Rara…!”
Ah syukurlah……
aku segera menuju kasir. Dan membayar obatku lalu berpamitan sebentar pada
Randy. Dia malah mengejarku keluar apotek.
“Ra!
Rara!”
“Ada
apa! Aku pikir kamu udah menikah sama Bulan.”
Wajahnya
tampak keheranan. “Bulan…? Dia hanya temanku.”
“Oh
begitu? Ya sudah aku pulang duluan.” Kataku tanpa mendengar penjelasannya, lalu
mencegat angkot yang lewat di depan apotek. Bagaimana pula kabar Bulan? Entahlah,
yang jelas sejak peristiwa itu aku pun malas berteman lagi dengannya. Mungkin benar
aku telah cemburu, tapi bukankah sangat wajar? Aku tak ingin lagi berurusan
dengan dua makhluk itu! Bahkan selamanya!
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁