Saya besar
di Banten, terbiasa dengan kultur masyarakatnya yang terkesan to the point tapi
tetap beretika. Suami dari Solo, yang katanya kalau berbicara tidak selalu
langsung ke pokok permasalahan walaupun sedang marah. Benar tidaknya, wallahu a’lam.
Ini sih kata suami aja.. hehe…
Awal-awal
menikah, saya masih kurang ngeh terhadap permintaan maupun perintahnya. Misalnya,
kalimat “tolong ambilkan minum”, diubah menjadi “masih ada air minum nggak?”
lha saya yang merasa memang masih ada air hanya menjawab “masih” tanpa
bertindak apa-apa. Maka berlanjutlah “haus nih.”
Baru deh
saya ambilkan. Duh duh duh…. Kurang peka amat yak, tapi kan kenapa juga
ngomongnya muter-muter dulu? Kan nggak efektif.
Singkat
cerita, anak pertama kami ini kalau diperhatikan kok ya mirip abahnya. Kalau bicara
muter-muter dulu… Misalnya, dalam suatu kondisi bepergian dia bertanya “Abah,
bawa uang gak?”
Dijawab,
“bawa.”
“Bawanya
banyak gak?”
“Ng…
banyak.”
“Kalau
gitu, Aa mau jajan itu. Boleh?”
Hadeeeh,
Cuma mau bilang minta jajan aja muter-muter ke pasar Tanah Abang dulu. Kemudian,
belum lama ini dia menceritakan tentang temannya.
“Mu, Aa
Fahri punya pensil warna baanyaaak deh. Tapi pelit, nggak boleh pinjem. Kalau Aa
(Fatih) punyanya Cuma berapa ini Mu, aa itung yah… 1,2,3,4… Tuh Cuma 4 Mu.”
“Iya A.”
aku menanggapi santai
“Aa
juga pengen beli pensil warna Mu….”
Owalaaah
itu tho maksud utamanya? Minta dibelikan pensil warna tapi ibunya nggak
langsung paham.
Entah
itu namanya ahli retorika atau tukang bersilat lidah, embuh lah. Yang jelas
kalau Thoriq sih to the point banget. Minta makan langsung bilang apa adanya. Minta
jajan tanpa tedeng aling-aling. Tapi Fatih mah… ya gitu. Dari yang sering
terjadi, terbentuklah sebuah pola. jadi, mungkin aja apa yang dia katakan
sebenarnya bukan tujuan utama dia. Istilahnya apa ya, ada makna yang tersirat
gitu… hehehehe….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁