Mungkinkah,
sesama saudara harus selalu rukun? Harus selalu akur dan tidak pernah
bermasalah? Seandainya iya, tentu nggak akan terjadi perseteruan Qabil dan
Habil hingga menyebabkan Habil terbunuh. Dan nggak akan juga terjadi pembuangan
Nabi Yusuf ke dalam sumur oleh kesepuluh saudaranya. Padahal mereka putra-putra
Nabi, tapi toh tetap saja melakukan kesalahan. Ya, seandainya kakak dan adik
harus selalu dalam keadaan baik-baik saja….
Ketika melihat
adik dan kakak bertengkar, sebagai orang tua tentunya kita kesal dan ingin agar
pertengkaran itu berakhir. Kita tak ingin mereka ribut seperti kucing dengan
anjing. Namun, mungkin saja tanpa sadar kita telah melakukan cara penyelesaian
yang salah… sehingga bukannya menyelesaikan masalah, tapi menumpuk masalah.
Ada satu
kejadian, adik dan kakak yang terus saja terlibat konflik padahal mereka sudah
sama-sama berkeluarga. Lambat laun mereka jadi tak pernah bertegur sapa. Kalau di
belakangnya mengghibah,. Ah, rasanya seperti musuh saja.
Ada juga
yang sering berkata: “anak-anak saya berantem terus. Si kakak nggak sayang sama
adiknya!”
Mendengar
itu saya hanya tersenyum sekaligus kasihan pada sang kakak. Masih kecil saja
dia sudah divonis sebagai kakak yang tidak sayang pada adiknya. Duh….
Fatih
dan Thoriq, nyaris tiap hari terlibat konflik. Memang bikin kesel sih, tapi mau
diselesaikan dengan cara apa nih? Misalnya Thoriq nangis karena Fatih usil. Apakah
dengan memarahi Fatih, menjauhkan Thoriq dari Fatih lantas masalah akan
selesai? Sayang sekali ya, mereka ini masih belum mumayiz, belum sempurna pula
akalnya. Sekali dibilangin sih ho-oh aja, tapi detik berikutnya lupa deh.
Contoh
masalahnya, Thoriq makan kerupuk. Fatih minta tapi nggak dikasih. Emang si
Thoriq itu sense of belongingnya lumayan kuat…jadi agak susah buat diajak
berbagi makanan. Nah, akhirnya Fatih nangis. Dalam pikiran saya sebagai orang
dewasa…(halah), saya piker “ih pelit banget sih minta sedikit doing!”
Tapi cuy….
Ternyata pikiran orang dewasa beda dengan pikiran anak-anak… mereka belum bisa
berpikir seperti halnya kita. Oke, jadi kalau saya marahin Thoriq lalu bilang
ke Fatih “udah diem, ntar kita beli yang banyak. Thoriq ga usah dikasih.”.
kira-kira apa yang akan terjadi?
Begitupun
bila yang menangis adalah Thoriq gara-gara tingkah usil Fatih. Saya marahin
yang besar, saya jauhkan yang kecil dari kakaknya, apa pula yang akan terjadi?
Hey…
itu hanya akan menjauhkan hati mereka. Membuat yang dibela (biasanya yang
kecil) akan ngelunjak, tidak hanya pada kakaknya tapi juga pada ibunya. Memang ya,
sepertinya kultur di Negara kita adalah bahwa adik itu harus disayang…kakak
harus mengalah. Salahnya orangtua adalah jika tidak benar dalam mengarahkan
konflik pada diri mereka. Bukannya selesai masalah tapi menimbun masalah. Ada dendam….
Ada luka….
Ya,
kakak yang biasanya disuruh ngemong adiknya. Kalau adiknya nangis, siapa yang
pertama kali ditanya atau disalahkan? Kakak. Lalu, siapa yang disuruh harus
mengalah? Kakak. Adik menangis terkesan lemah sehingga layak untuk dibela,
padahal bisa jadi dia yang salah.
Ada baiknya
jika mereka berkonflik, kita jangan reaktif. Walaupun misalnya, kita temukan si
adik dalam keadaan menangis dan berdarah-darah. Tetap kita harus tabayun. Siapa
tahu dia terluka akibat salahnya sendiri, bukan karena kesalahan kakak. Jangan juga
kita sodorkan langsung solusi damai dan mengalah bagi sang kakak. Ajak mereka
diskusi baik-baik, tanyakan sebabnya apa… kenapa bertengkar…kenapa menangis…
dst.
Lalu timbanglah
siapa yang salah di antara mereka. Tak usah ragu katakan pada sang adik bahwa
dia salah maka dia harus meminta maaf pada kakaknya. Dan kakak tak perlu
mengalah duluan kalau dia memang benar. Ajarkan dia mengatakan dan membela
kebenaran. Setelah jelas masalahnya, bolehlah kita ceritakan bahwa mengalah itu
baik lho… Tapi tetap yah, kebenaran itu harus dinomorsatukan. Tawarkan perdamaian,
ajak mereka bermaaf-maafan dan saling sayang kembali.
Soalnya,
nggak enak banget deh kalau kita berada di posisi “salah”. Kalau sebagai
orangtua kita terbiasa menyalahkan sang kakak atau adik, jangan salahkan mereka
kalau sampai dewasa pun mereka terbiasa berkelahi. Lha wong kita sendiri yang
mencetaknya. Kita sendiri yang membentuk mereka jadi begitu. Kok, setelah
tercetak malah heran sendiri kok jadi begini ya anak-anak ini? Kecuali, kalau
kita sudah berusaha adil ternyata masih ada kekeliruan dalam diri mereka, ya
itu di luar kuasa kita. Seperti Qabil dan Habil, Yusuf dan saudara-saudaranya,
itu bukan karena ayah mereka yang tidak adil.
Alamiahnya
anak-anak berkonflik, sebagaimana orang dewasa juga demikian. Namun perlu kita
tiru sifat langit mereka. Sifat malaikat mereka. Meskipun bertengkar,
berkelahi, mereka selalu punya cara untuk akur kembali. Tertawa kembali. Malah kita
nih, orang dewasa lebih senang sifat setan, yang kalau ada salah sedikit saja
bisa diam-diaman berbulan-bulan lamanya. Gak bisa memaafkan banget sih, malah
ngeghibah di belakang orangnya. Ckckck….
Ketika ingat
bahwa ternyata, anak-anak lebih banyak mengajarkan kebaikan kepada kita,
daripada kiita mengajarkannya pada mereka, kadangkala saya merasa sedih…. Maafkan
kami Nak, sebagai orangtua telah banyak lalai dalam mendidikmu….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁