Cari Blog Ini

Kamis, 12 Maret 2015

Ketika si Kakak Harus Mengalah



                Mungkinkah, sesama saudara harus selalu rukun? Harus selalu akur dan tidak pernah bermasalah? Seandainya iya, tentu nggak akan terjadi perseteruan Qabil dan Habil hingga menyebabkan Habil terbunuh. Dan nggak akan juga terjadi pembuangan Nabi Yusuf ke dalam sumur oleh kesepuluh saudaranya. Padahal mereka putra-putra Nabi, tapi toh tetap saja melakukan kesalahan. Ya, seandainya kakak dan adik harus selalu dalam keadaan baik-baik saja….
                Ketika melihat adik dan kakak bertengkar, sebagai orang tua tentunya kita kesal dan ingin agar pertengkaran itu berakhir. Kita tak ingin mereka ribut seperti kucing dengan anjing. Namun, mungkin saja tanpa sadar kita telah melakukan cara penyelesaian yang salah… sehingga bukannya menyelesaikan masalah, tapi menumpuk masalah.
                Ada satu kejadian, adik dan kakak yang terus saja terlibat konflik padahal mereka sudah sama-sama berkeluarga. Lambat laun mereka jadi tak pernah bertegur sapa. Kalau di belakangnya mengghibah,. Ah, rasanya seperti musuh saja.
                Ada juga yang sering berkata: “anak-anak saya berantem terus. Si kakak nggak sayang sama adiknya!”
                Mendengar itu saya hanya tersenyum sekaligus kasihan pada sang kakak. Masih kecil saja dia sudah divonis sebagai kakak yang tidak sayang pada adiknya. Duh….
                Fatih dan Thoriq, nyaris tiap hari terlibat konflik. Memang bikin kesel sih, tapi mau diselesaikan dengan cara apa nih? Misalnya Thoriq nangis karena Fatih usil. Apakah dengan memarahi Fatih, menjauhkan Thoriq dari Fatih lantas masalah akan selesai? Sayang sekali ya, mereka ini masih belum mumayiz, belum sempurna pula akalnya. Sekali dibilangin sih ho-oh aja, tapi detik berikutnya lupa deh.
                Contoh masalahnya, Thoriq makan kerupuk. Fatih minta tapi nggak dikasih. Emang si Thoriq itu sense of belongingnya lumayan kuat…jadi agak susah buat diajak berbagi makanan. Nah, akhirnya Fatih nangis. Dalam pikiran saya sebagai orang dewasa…(halah), saya piker “ih pelit banget sih minta sedikit doing!”
                Tapi cuy…. Ternyata pikiran orang dewasa beda dengan pikiran anak-anak… mereka belum bisa berpikir seperti halnya kita. Oke, jadi kalau saya marahin Thoriq lalu bilang ke Fatih “udah diem, ntar kita beli yang banyak. Thoriq ga usah dikasih.”. kira-kira apa yang akan terjadi?
                Begitupun bila yang menangis adalah Thoriq gara-gara tingkah usil Fatih. Saya marahin yang besar, saya jauhkan yang kecil dari kakaknya, apa pula yang akan terjadi?
                Hey… itu hanya akan menjauhkan hati mereka. Membuat yang dibela (biasanya yang kecil) akan ngelunjak, tidak hanya pada kakaknya tapi juga pada ibunya. Memang ya, sepertinya kultur di Negara kita adalah bahwa adik itu harus disayang…kakak harus mengalah. Salahnya orangtua adalah jika tidak benar dalam mengarahkan konflik pada diri mereka. Bukannya selesai masalah tapi menimbun masalah. Ada dendam…. Ada luka….
                Ya, kakak yang biasanya disuruh ngemong adiknya. Kalau adiknya nangis, siapa yang pertama kali ditanya atau disalahkan? Kakak. Lalu, siapa yang disuruh harus mengalah? Kakak. Adik menangis terkesan lemah sehingga layak untuk dibela, padahal bisa jadi dia yang salah.
                Ada baiknya jika mereka berkonflik, kita jangan reaktif. Walaupun misalnya, kita temukan si adik dalam keadaan menangis dan berdarah-darah. Tetap kita harus tabayun. Siapa tahu dia terluka akibat salahnya sendiri, bukan karena kesalahan kakak. Jangan juga kita sodorkan langsung solusi damai dan mengalah bagi sang kakak. Ajak mereka diskusi baik-baik, tanyakan sebabnya apa… kenapa bertengkar…kenapa menangis… dst.
                Lalu timbanglah siapa yang salah di antara mereka. Tak usah ragu katakan pada sang adik bahwa dia salah maka dia harus meminta maaf pada kakaknya. Dan kakak tak perlu mengalah duluan kalau dia memang benar. Ajarkan dia mengatakan dan membela kebenaran. Setelah jelas masalahnya, bolehlah kita ceritakan bahwa mengalah itu baik lho… Tapi tetap yah, kebenaran itu harus dinomorsatukan. Tawarkan perdamaian, ajak mereka bermaaf-maafan dan saling sayang kembali.
                Soalnya, nggak enak banget deh kalau kita berada di posisi “salah”. Kalau sebagai orangtua kita terbiasa menyalahkan sang kakak atau adik, jangan salahkan mereka kalau sampai dewasa pun mereka terbiasa berkelahi. Lha wong kita sendiri yang mencetaknya. Kita sendiri yang membentuk mereka jadi begitu. Kok, setelah tercetak malah heran sendiri kok jadi begini ya anak-anak ini? Kecuali, kalau kita sudah berusaha adil ternyata masih ada kekeliruan dalam diri mereka, ya itu di luar kuasa kita. Seperti Qabil dan Habil, Yusuf dan saudara-saudaranya, itu bukan karena ayah mereka yang tidak adil.
                Alamiahnya anak-anak berkonflik, sebagaimana orang dewasa juga demikian. Namun perlu kita tiru sifat langit mereka. Sifat malaikat mereka. Meskipun bertengkar, berkelahi, mereka selalu punya cara untuk akur kembali. Tertawa kembali. Malah kita nih, orang dewasa lebih senang sifat setan, yang kalau ada salah sedikit saja bisa diam-diaman berbulan-bulan lamanya. Gak bisa memaafkan banget sih, malah ngeghibah di belakang orangnya. Ckckck….
                Ketika ingat bahwa ternyata, anak-anak lebih banyak mengajarkan kebaikan kepada kita, daripada kiita mengajarkannya pada mereka, kadangkala saya merasa sedih…. Maafkan kami Nak, sebagai orangtua telah banyak lalai dalam mendidikmu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁