Berita di
berbagai media penuh dengan permainan politik yang pelik. Kritik dan demo
datang dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa. Mereka semua menuntut adanya
perubahan, seperti yang pernah dijanjikan oleh bapak Presiden. Nyatanya, baru
beberapa bulan berjalan pemerintahannya yang baru, yang diangkat dari jalan
demokrasi, rakyat sudah begitu gerah dan geram. Bapak Presiden, kebijakannya
lebih banyak membuat rakyat mencekik lehernya sendiri.
Tentang
kebobrokan penguasa, Randy bercerita. Bagaimana ia dan kawan-kawan BEM-nya
merencanakan aksi yang akan mengguncang istana. Katanya demokrasi itu palsu,
bukan untuk rakyat melainkan hanya untuk pejabat. Tiap kali aku mendengar
ceritanya, aku selalu tersenyum. Sejak SMA, Randy memang terlihat berbeda. Aktivitasnya
lebih banyak berkutat dalam hal politik seperti itu. Sedangkan aku, seperti
tuan puteri yang lebih banyak diam di rumah. Apa yang dipikirkan anak SMA
selain tugas sekolah, jalan ke mall bersama genk dan pacaran, iya kan? Namun Randy
tidak begitu….
“Kalau
bukan kita yang memikirkan bangsa ini, siapa lagi? Apa kamu mau Negara kita
perlahan-lahan terenggut oleh penjajah berwajah pribumi? Jangan dikira kita
sudah merdeka, kenyataannya kita selalu menderita!”
Ah,
Randy… bagaimana aku merasa menderita? Hidupku aman terjamin. Papa dan mamaku
bekerja. Aku anak tunggal yang segala keinginanku pasti akan dipenuhi oleh
mereka. Sekolah diantar jemput sopir, kuliah boleh bawa mobil. Uang saku tak
pernah kurang, lalu apa yang harus kupikirkan tentang perubahan? Toh selama ini
aku aman-aman saja, baik-baik saja, tak bisa merasakan apa yang kaurasakan…
Kutahu,
kamu pun orang berada. Seringkali kamu bercerita tentang keluargamu yang
katanya memiliki sawah berhektar-hektar dan kalau musim panen kamu bisa beli
mobil terbaru. Kebun di kampung-kampung yang dikelola oleh warga sekitar dan
segalanya kau serba ada. Mengapa harus berlelah-lelah memikirkan
perubahan? Rupanya, kau sudah sejak lama
berlepas diri dari dana orang tuamu. Bekerja sendiri, dengan hasil keringat
sendiri demi mencukupi biaya kuliah dan hidup sehari-hari. Jadi itukah sebabnya
kau kurus?
“Aku
salut sama kamu. Orang macam kamulah yang dibutuhkan rakyat. Biar bagaimanapun
aku selalu mendukung perjuanganmu.” Ungkapku kala itu.
“Rara…
Kau tahu, kita bisa makan nasi dan buah-buahan, sebagiannya bukan kita yang
menanam. Kita tinggal membelinya saja di pasar. Semua itu orang lain yang
menanam, dan ini yang mesti kamu sadari. Kebaikan apa saja yang kita tanam,
bisa jadi bukan kita yang menikmati tetapi orang lain. Dan oleh karena itulah
kita menjadi pahlawan sejati, yang mungkin namanya tidak terpatri dalam
prasasti. Namun, ada banyak orang yang akan berbahagia nanti, bila perubahan
yang kita lakukan ini penuh arti. Jadi jangan sia-siakan kebaikan sekecil
apapun yang kita perbuat.”
Aku selalu
tersenyum saat mendengar ceritamu. Kaukirim e-mail, kaukirim foto, dan itu
membuatku merasa selalu ada di sampingmu. Kita pernah tinggal satu kota, dan
hanya satu kali kita pernah bersua. Satu kali, di toko buku dan tidak lama. Itu
pun aku mengajak teman baikku.
“Jadi,
kamu.. Rara?” kamu memastikan.
“Ya,
dan ini sahabatku, Diani.” Aku memperkenalkan mereka. Randy dan Diana
bersalaman.
Lalu,
kita hanya saling senyum, tak tahu harus bicara apa. Padahal kalau kita
bertelepon atau SMS, bisa seharian tanpa pernah putus. Mungkin karena baru
pertama bertemu dengan sahabat udara…
“Ra, kapan-kapan
kita bisa ketemu lagi kan?” tanyamu. Aku mengangguk. Akan kupersiapkan diriku
jika ada kesempatan bertemu lagi.
“Kalau
begitu, sekarang aku pamit ya…” dan pandanganku melepas kepergiannya sampai
sosoknya hilang dari jangkauan. Aku merasakan telapak tanganku sangat dingin. Diani
senyum-senyum melihatku. Itulah pertemuan pertama dengannya, tetapi sejak itu
tak pernah lagi ada jadwal pertemuan. Kami masih sering berkomunikasi, masih
sering dia menjadikan aku tempat curhatnya, bahkan hingga ia pindah ke kota
lain untuk kuliah. Hingga nyaris aku merasa bahwa hubungan ini bernama LDR. Terasa
manis bila itu terjadi pada sepasang kekasih, nyatanya aku dan dia tetap
seperti ini. Dia menyebutnya: sahabat.
***
Tanpa
terasa, mataku berkaca-kaca. Laju angkot yang begitu cepat tak kurasakan hingga
tersadar diri ini sudah dibawa amat jauh oleh pak sopir. Kebablasan! Rumahku sudah
terlewat dan ya ampuuuun ini sih sudah kelewat jauhnya. Sekalian saja aku berhenti
di titik akhir dan masuk ke dalam mall terdekat. Barangkali dengan shopping
sebentar, bisa meredakan debur-debur kegundahan hati ini.
Melihat-lihat
tas, sepatu dan baju keluaran terbaru di butik dalam mall itu ternyata cukup
ampuh membuatku agak baikan. Setidaknya window shopping ini bisa menjadi
referensi untuk nanti kalau benar-benar niat belanja.
Mengapa
aku harus bertemu lagi dengan makhluk itu? Seharusnya dia sudah lenyap
selamanya dalam ingatan paling buruk tentangnya. Namun ia menyeruak paksa,
membuka lembaran lama kisah kami berdua di masa lalu. Andai saja aku dan dia
tak pernah bertemu, atau andai saja tak ada Bulan di antara kami… ah itu sulit
untuk kupikirkan.
Bukankah
sangat menyakitkan bagi seorang gadis yang sudah diberikan perhatian dan
dijadikan tempat curhat oleh seorang lelaki yang terus-menerus seperti itu
hingga sang gadis menganggapnya special dan merasa diistimewakan tetapi sang
lelaki menganggapnya hanya sebagai sahabat? Sebaliknya ia menjadikan gadis
lainnya sebagai tambatan hatinya, begitu mesra dengannya hingga tampak seperti….suami
dan istri??
Aku sangat
tak menyangka Randy yang begitu menggebu dan semangat ingin melakukan perubahan
untuk negeri ini agar lebih baik, ternyata berhubungan dengan Bulan seperti
sepasang kekasih yang kehausan.
“Di
setiap SMS dan telepon, Randy kadang minta dipeluk, dicium, dicumbu rayu. Bermanja-manja,
seakan kami sedang berdua. Aku turuti saja, toh ini Cuma main-main, dan tidak
secara langsung… Aku sih nggak tahu yang kami lakukan itu bikin dia horny apa
nggak….” Dengan polosnya Bulan menceritakan itu. Membuatku mual jika membayangkan
sosok Randy dan Bulan yang tengah melakukan phone sex .
Apa kau
tahu, Randy, sejak aku tahu kenyataan itu aku pulang ke rumah dalam kondisi
hatiku hancur berkeping-keping. Pecah semua harapan yang sudah terukir indah,
yang kau sendiri yang mengukirnya dalam hatiku.
“Mungkin
aja Bulan itu berbohong….” Hibur Diani.
“Kalau
dia sendiri yang cerita, bisa jadi dia bohong. Tapi aku melihat sendiri dalam
HP-nya. Suatu bukti yang gak bisa dibantah. Apa yang harus aku lakukan Dy….” Hanya
kepadanya, aku berani curhat. Dia saja sahabatku yang paling mengerti.
“Ya
sudah… Kamu bersikap biasa saja. Kalau memang nggak ada kepentingan, ya gak
usah berurusan dengan Randy. Untung dia nggak melakukan itu sama kamu. Itu tandanya
dia masih menghargai kamu. Tentang Bulan, lupakan saja. Randy menganggapnya
hanya sebagai pemuas imajinasi gratisnya. Pelacurnya…”
“Kok
Randy bisa begitu sih….. teganya!”
“Apa
kamu mau klarifikasi sama Randy? Siapa tahu ada orang iseng yang menggunakan
nomornya untuk kepentingan dia sendiri. Jadi bukan Randy pelakunya. Bisa jadi,
temannya.”
“Aku
nggak mau lagi berurusan dengan Randy! Sejak saat ini.” Aku pun bertekad kuat
untuk menghapus ingatanku tentangnya, mulai dengan menghapus nomornya dari
HP-ku, memblokir pertemanan dengannya, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya aku hilangkan. Bagiku berakhir sudah, harapan-harapan yang belum lagi
mekar telah terbakar sampai hangus. Aku tak peduli lagi tentang perasaan GR
yang kurasakan. Nyatanya Randy memang tak pernah menganggapku sebagai
kekasihnya.
Memangnya
ada rasa yang lebih menyakitkan dari di-PHP-in?----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁