Cari Blog Ini

Selasa, 24 Maret 2015

Pengalihan Isu, Murahan!



                Saya teringat zaman SD, waktu itu menjelang pilpres. Kira-kira tahun 1999-ya, berarti saya kelas 5. Berarti wali kelas saya Bu Mustimar. Berarti saya umur 11 tahun. Berarti…. Ah sudahlah bagian ini nggak penting.
                Yang mau saya ceritakan adalah, pada tahun-tahun itu sungguh sangat mencekam. Di rumah, di sekolah, horror aja keadaannya. Bukan karena ada hantu suster ngesot yang nikah sama hantu pocong, lalu melahirkan suster keramas. Tapi, lebih serem dari itu semua yaitu… anak angkatnya Mak Lampir yang bergentayangan di tempat tinggal saya. Ini mah serius….
                Waktu itu lagi tenar sinetron “Mak Lampir”, apa tuh judulnya… Misteri Gunung Merapi ya? Di situ ka nada tokoh namanya Gerandong. Nah, di bagian ini nih yang serem. Konon kabarnya, sebagaimana biasa isu berembus di udara bahwa ada sosok Gerandong telah memasuki desa kami.
                Dia adalah manusia yang cari pesugihan, dengan tumbal harus memperkosa sejumlah perawan, sejumlah ibu-ibu dan sejumlah nenek-nenek. Nah lho gimana nggak serem tuh! Saya kan waktu itu(11 thn) udah tergolong perawan, kan? Takut jadi sasaran dong. Apalagi kabarnya, siapa aja yang udah jadi korban, maka akan mati! Sebab, senjatanya Gerandong itu akan menjadi seukuran paha orang dewasa, ada kawatnya. Ih pokoknya serem deh.
                Jadilah setiap malam kami semua yang ada di kampung nggak ada yang berani tidur di kamar! Lalu tidur di mana? Di teras rumah. Beneran ini kayak pengungsi aja. Kalau udah lepas Isya langsung gelar tikar di teras, lalu pakai baju yang dirangkap celana panjang dobel-dobel deh. Para pria berjaga-jaga di halaman, gak tidur. Luar biasa ya isu kala itu, sampai mendengar suara gedebuk di loteng aja langsung dibilang itu gerandong. Ada suara di belakang pintu, gerandong juga. Padahal mah bisa jadi itu Cuma tikus jatoh!
                Tetangga kami, tengah malam katanya berantem sama Gerandong. Sampai diumumkan di masjid, supaya semua warga berjaga-jaga. Huffft…. Ini benar-benar membuat saya nggak berani berada di dalam kamar sendirian pada waktu malam!
                Setelah isu Gerandong ini hilang dengan sendirinya, dan nggak pernah ada pengakuan korban secara langsung sih baik dari pihak perawan maupun nenek-nenek, Cuma katanya katanya doing… jadi ya kita semua kembali ke kehidupan normal. Tapi muncul lagi kasus serupa, yaitu kolor ijo. Kalau ini sih masuk TV dan ada pengakuan korban. Namun akhirnya si korban mengaku juga kalau itu hanya trik dia supaya cari sensasi, numpang tenar. Gak ada sosok kolor ijo dalam dunia nyata. Cuihhh! Berkali-kali kena isu murahan.
                Oya, sebelumnya, ada juga isu yang nggak kalah serem menjelang pilpres yaitu isu Ninja yang menyerang para kyai di kegelapan malam. Hah kalau ini sih saya nggak tahu pasti, namanya aja sasarannya kyai, jadi saya nggak begitu takut seperti isu Gerandong.
                Kini, begitu banyak isu. Yaaaa….hati-hati aja jangan sampai kena tipu. Bisa jadi, apa yang sedang ramai dibahas di media ini sekadar pengalihan isu aja buat menutupi masalah yang sebenarnya. Ya misalnya aja, Mister Joko mau diculik sama gerandong lalu ditutupi oleh isu begal lah, teroris lah, teh manis lah, bang kumis lah, atau sosis ya entahlah…semua bisa jadi isu murahan yang tergetnya bikin takut warga.
                Sehingga, bisa jadi, bisa jadi lho yaaaa… kita akan mengabaikan masalah yang lebih serius dibandingkan msalah yang Cuma rekayasa. Ada ular phyton  yang akan memangsa semua orang di negeri ini, eeeh kita malah ngeributin isu teroris yang sebenarnya ditujukan ke umat islam. Lihat ikhwan berjenggot dan sering baca buku jihad langsung ditangkap, jangan-jangan ntar pedagang Iqro keliling juga ditangkep. Hadeeeh…. Aya2 wae negri ini.
                Bukankah yang menjadi teroris sebenarnya adalah orang2 yang ngakunya berpangkat tapi korupsi dan ngejual-jualin asset Negara ke asing? Barang tambang milik Negara dibiarkan dikelola asing sampai tahun kapan itu selesainya… Lalu rakyat dibiarkan aja beli beras mahal, gas mahal, listrik mahal, mau berobat harus dipalak dulu tiap bulan pake BPJS, bensin naiknya gak ketahuan, dan ujung-ujungnya batu akik jadi mahal. Hahaha… siapa yang gila coba?
                Cuma mericin dan rambutan yang sekarang lagi murah!

Sabtu, 21 Maret 2015

My First Love #2




                Berita di berbagai media penuh dengan permainan politik yang pelik. Kritik dan demo datang dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa. Mereka semua menuntut adanya perubahan, seperti yang pernah dijanjikan oleh bapak Presiden. Nyatanya, baru beberapa bulan berjalan pemerintahannya yang baru, yang diangkat dari jalan demokrasi, rakyat sudah begitu gerah dan geram. Bapak Presiden, kebijakannya lebih banyak membuat rakyat mencekik lehernya sendiri.
                Tentang kebobrokan penguasa, Randy bercerita. Bagaimana ia dan kawan-kawan BEM-nya merencanakan aksi yang akan mengguncang istana. Katanya demokrasi itu palsu, bukan untuk rakyat melainkan hanya untuk pejabat. Tiap kali aku mendengar ceritanya, aku selalu tersenyum. Sejak SMA, Randy memang terlihat berbeda. Aktivitasnya lebih banyak berkutat dalam hal politik seperti itu. Sedangkan aku, seperti tuan puteri yang lebih banyak diam di rumah. Apa yang dipikirkan anak SMA selain tugas sekolah, jalan ke mall bersama genk dan pacaran, iya kan? Namun Randy tidak begitu….
                “Kalau bukan kita yang memikirkan bangsa ini, siapa lagi? Apa kamu mau Negara kita perlahan-lahan terenggut oleh penjajah berwajah pribumi? Jangan dikira kita sudah merdeka, kenyataannya kita selalu menderita!”
                Ah, Randy… bagaimana aku merasa menderita? Hidupku aman terjamin. Papa dan mamaku bekerja. Aku anak tunggal yang segala keinginanku pasti akan dipenuhi oleh mereka. Sekolah diantar jemput sopir, kuliah boleh bawa mobil. Uang saku tak pernah kurang, lalu apa yang harus kupikirkan tentang perubahan? Toh selama ini aku aman-aman saja, baik-baik saja, tak bisa merasakan apa yang kaurasakan…
                Kutahu, kamu pun orang berada. Seringkali kamu bercerita tentang keluargamu yang katanya memiliki sawah berhektar-hektar dan kalau musim panen kamu bisa beli mobil terbaru. Kebun di kampung-kampung yang dikelola oleh warga sekitar dan segalanya kau serba ada. Mengapa harus berlelah-lelah memikirkan perubahan?  Rupanya, kau sudah sejak lama berlepas diri dari dana orang tuamu. Bekerja sendiri, dengan hasil keringat sendiri demi mencukupi biaya kuliah dan hidup sehari-hari. Jadi itukah sebabnya kau kurus?
                “Aku salut sama kamu. Orang macam kamulah yang dibutuhkan rakyat. Biar bagaimanapun aku selalu mendukung perjuanganmu.” Ungkapku kala itu.
                “Rara… Kau tahu, kita bisa makan nasi dan buah-buahan, sebagiannya bukan kita yang menanam. Kita tinggal membelinya saja di pasar. Semua itu orang lain yang menanam, dan ini yang mesti kamu sadari. Kebaikan apa saja yang kita tanam, bisa jadi bukan kita yang menikmati tetapi orang lain. Dan oleh karena itulah kita menjadi pahlawan sejati, yang mungkin namanya tidak terpatri dalam prasasti. Namun, ada banyak orang yang akan berbahagia nanti, bila perubahan yang kita lakukan ini penuh arti. Jadi jangan sia-siakan kebaikan sekecil apapun yang kita perbuat.”
                Aku selalu tersenyum saat mendengar ceritamu. Kaukirim e-mail, kaukirim foto, dan itu membuatku merasa selalu ada di sampingmu. Kita pernah tinggal satu kota, dan hanya satu kali kita pernah bersua. Satu kali, di toko buku dan tidak lama. Itu pun aku mengajak teman baikku.
                “Jadi, kamu.. Rara?” kamu memastikan.
                “Ya, dan ini sahabatku, Diani.” Aku memperkenalkan mereka. Randy dan Diana bersalaman.
                Lalu, kita hanya saling senyum, tak tahu harus bicara apa. Padahal kalau kita bertelepon atau SMS, bisa seharian tanpa pernah putus. Mungkin karena baru pertama bertemu dengan sahabat udara…
                “Ra, kapan-kapan kita bisa ketemu lagi kan?” tanyamu. Aku mengangguk. Akan kupersiapkan diriku jika ada kesempatan bertemu lagi.
                “Kalau begitu, sekarang aku pamit ya…” dan pandanganku melepas kepergiannya sampai sosoknya hilang dari jangkauan. Aku merasakan telapak tanganku sangat dingin. Diani senyum-senyum melihatku. Itulah pertemuan pertama dengannya, tetapi sejak itu tak pernah lagi ada jadwal pertemuan. Kami masih sering berkomunikasi, masih sering dia menjadikan aku tempat curhatnya, bahkan hingga ia pindah ke kota lain untuk kuliah. Hingga nyaris aku merasa bahwa hubungan ini bernama LDR. Terasa manis bila itu terjadi pada sepasang kekasih, nyatanya aku dan dia tetap seperti ini. Dia menyebutnya: sahabat.
***
                Tanpa terasa, mataku berkaca-kaca. Laju angkot yang begitu cepat tak kurasakan hingga tersadar diri ini sudah dibawa amat jauh oleh pak sopir. Kebablasan! Rumahku sudah terlewat dan ya ampuuuun ini sih sudah kelewat jauhnya. Sekalian saja aku berhenti di titik akhir dan masuk ke dalam mall terdekat. Barangkali dengan shopping sebentar, bisa meredakan debur-debur kegundahan hati ini.
                Melihat-lihat tas, sepatu dan baju keluaran terbaru di butik dalam mall itu ternyata cukup ampuh membuatku agak baikan. Setidaknya window shopping ini bisa menjadi referensi untuk nanti kalau benar-benar niat belanja.
                Mengapa aku harus bertemu lagi dengan makhluk itu? Seharusnya dia sudah lenyap selamanya dalam ingatan paling buruk tentangnya. Namun ia menyeruak paksa, membuka lembaran lama kisah kami berdua di masa lalu. Andai saja aku dan dia tak pernah bertemu, atau andai saja tak ada Bulan di antara kami… ah itu sulit untuk kupikirkan.
                Bukankah sangat menyakitkan bagi seorang gadis yang sudah diberikan perhatian dan dijadikan tempat curhat oleh seorang lelaki yang terus-menerus seperti itu hingga sang gadis menganggapnya special dan merasa diistimewakan tetapi sang lelaki menganggapnya hanya sebagai sahabat? Sebaliknya ia menjadikan gadis lainnya sebagai tambatan hatinya, begitu mesra dengannya hingga tampak seperti….suami dan istri??
                Aku sangat tak menyangka Randy yang begitu menggebu dan semangat ingin melakukan perubahan untuk negeri ini agar lebih baik, ternyata berhubungan dengan Bulan seperti sepasang kekasih yang kehausan.
                “Di setiap SMS dan telepon, Randy kadang minta dipeluk, dicium, dicumbu rayu. Bermanja-manja, seakan kami sedang berdua. Aku turuti saja, toh ini Cuma main-main, dan tidak secara langsung… Aku sih nggak tahu yang kami lakukan itu bikin dia horny apa nggak….” Dengan polosnya Bulan menceritakan itu. Membuatku mual jika membayangkan sosok Randy dan Bulan yang tengah melakukan phone sex .
                Apa kau tahu, Randy, sejak aku tahu kenyataan itu aku pulang ke rumah dalam kondisi hatiku hancur berkeping-keping. Pecah semua harapan yang sudah terukir indah, yang kau sendiri yang mengukirnya dalam hatiku.
                “Mungkin aja Bulan itu berbohong….” Hibur Diani.
                “Kalau dia sendiri yang cerita, bisa jadi dia bohong. Tapi aku melihat sendiri dalam HP-nya. Suatu bukti yang gak bisa dibantah. Apa yang harus aku lakukan Dy….” Hanya kepadanya, aku berani curhat. Dia saja sahabatku yang paling mengerti.
                “Ya sudah… Kamu bersikap biasa saja. Kalau memang nggak ada kepentingan, ya gak usah berurusan dengan Randy. Untung dia nggak melakukan itu sama kamu. Itu tandanya dia masih menghargai kamu. Tentang Bulan, lupakan saja. Randy menganggapnya hanya sebagai pemuas imajinasi gratisnya. Pelacurnya…”
                “Kok Randy bisa begitu sih….. teganya!”
                “Apa kamu mau klarifikasi sama Randy? Siapa tahu ada orang iseng yang menggunakan nomornya untuk kepentingan dia sendiri. Jadi bukan Randy pelakunya. Bisa jadi, temannya.”
                “Aku nggak mau lagi berurusan dengan Randy! Sejak saat ini.” Aku pun bertekad kuat untuk menghapus ingatanku tentangnya, mulai dengan menghapus nomornya dari HP-ku, memblokir pertemanan dengannya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya aku hilangkan. Bagiku berakhir sudah, harapan-harapan yang belum lagi mekar telah terbakar sampai hangus. Aku tak peduli lagi tentang perasaan GR yang kurasakan. Nyatanya Randy memang tak pernah menganggapku sebagai kekasihnya.
                Memangnya ada rasa yang lebih menyakitkan dari di-PHP-in?----

Jumat, 20 Maret 2015

My First Love #1



Cuaca hari ini sedang susah ditebak, seperti dalamnya hati seorang wanita. Yaah…kadang panas terik, kadang hujan deras. Katanya sih ini namanya musim pancaroba. Sebab itulah banyak yang ambruk karena daya tahan tubuhnya kurang fit. Aku termasuk yang kena flu dan sekarang terpaksa harus mampir ke apotek untuk membeli obat.
                Tiba-tiba saja, saat sedang menunggu antrean, seseorang menegurku.
                “Rara? Kamu Rara, kan? Ah… apa kabar…?” sapanya begitu ramah. Aku agak tak ingat, hanya mengangguk sopan.
                “Kamu pasti lupa!”
                Lagi aku mengangguk. Dia tersenyum seraya duduk di bangku tak jauh dariku. “Aku ini kan sahabatmu dulu. Randy…”
                Aku terperanjat, ah masa iya aku bisa lupa pada lelaki ini. Apa karena tampilannya sekarang lebih kebapakan dan berkacamata serta sedikit lebih gemuk dibandingkan dulu yang selalu pakai celana jeans, jaket dan tentu saja kurus. Aku benar-benar pangling dibuatnya. Dan karena itulah kini aku merasa debaran jantungku semakin cepat dari biasanya.
                “Kamu kok, ada di sini?” tanyaku kaku.
                “Liburan aja. Oya, kamu…sibuk apa?”
                “Aku ngajar…”
                ***
                Randy adalah pendengar setia radio kesukaanku. Saat kami masih SMA, setiap sore Randy tak pernah bosan menelepon operator radio untuk berkirim pesan dan lagu. Lambat laun, aku mengenalnya, karena sering juga bertegur sapa lewat radio itu. Seiring perkembangan teknologi, kami punya ponsel dan bertukar nomor untuk saling berkirim pesan yang lebih pribadi. Kehadirannya senantiasa mewarnai hari-hariku di sekolah abu-abu.
                Aku serasa punya kekasih, sama seperti teman-temanku meskipun mereka bisa bertemu setiap hari dengan pacar mereka di sekolah. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, statusku ini apanya Randy? Apa benar dia menganggapku lebih dari sahabatnya? Sebab aku merasakan perhatiannya begitu besar, sering menghubungiku, mencandaiku walaupun kami jarang bertemu.
                “Itu sih namanya TTM-an, Rara…” ujar temanku, ketika tahu hubunganku dengan Randy. “Kamu itu dianggap apa oleh dia? Pacar nggak resmi tapi mesra banget.” Komentarnya.
                Menyakitkan sekali kalau ternyata benarlah komentar dia. Sejak itu aku tak menceritakan tentang Randy kepada siapapun. Hingga kami lulus sekolah. Hingga kami masuk universitas. Kami menempuh studi yang berbeda. Aku tetap di kota ini, sedangkan Randy pindah ke kota lain yang kultur pergerakannya lebih terasa. Awal-awal perkuliahan kami masih saling berkirim kabar.
                Randy sering menceritakan tentang teman-temannya, kelasnya, kosannya, bahkan hal-hal tak penting dia sering kabarkan padaku. Begitupun aku, berusaha untuk selalu bersamanya meski lewat udara.
                Teknologi semakin maju, sekadar SMS sungguh tak begitu seru. Ada fasilitas media social yang bisa semakin mendekatkan orang yang jauh. Randy masih tak lupa padaku. Foto-foto terbarunya terus bermunculan di media itu. Menggambarkan sosoknya yang semakin kurus, karena katanya sering ikut aksi bareng anak BEM di kampusnya. Syukurlah Rand, kamu sekarang jadi aktivis mahasiswa. Namun seiring itu pulalah dia menjadi semakin jauh dariku…
                Aku tak ingin terpaku pada kesendirian itu, meski memang duniaku mendadak sepi tanpa kehadirannya. Kini semua terasa seperti abu-abu, hambar saja. Hingga seseorang datang menggantikannya. Bukan lelaki melainkan perempuan, yang kukenal lewat media social juga. Namanya Bulan.
                Ada yang menarik darinya, Bulan dan aku sama-sama pecinta buku. Karenanyalah pembicaraan kami lebih banyak tentang buku. Kami pun sering berkirim buku ke rumah masing-masing. Persahabatan dengannya berjalan dengan baik, sampai suatu saat dia mengajak kopi darat. Tentu saja aku senang, apalagi jarak kotaku dengan kotanya tak begitu jauh. Kami memutuskan untuk bertemu di satu titik, dan terjadilah pertemuan itu.
                “Aku seneng banget kita bisa ketemu…” ujarnya.
                “Aku juga senang. Kamu tinggal di deket sini?”
                “Ya, nanti kamu nginap di kosanku kan?” lalu setelah berbasa-basi kami jalan-jalan. Perjalanan berakhir kala petang dan aku benar-benar menginap di kosannya. Sederhana, hanya ada satu kamar dan ruang tamu serta kamar mandi.
                “Kamu mau langsung tidur atau mandi dulu?” tawarnya.
                “Badanku lengket. Mau mandi dulu ya…” lalu aku menuju kamar mandi, segar rasanya terkena guyuran air setelah seharian berjalan-jalan. Setelah itu aku kembali ke kamar. Bulan sedang asyik dengan ponselnya, dia senyum-senyum sendiri. Aku duduk di dekatnya. Agak salah tingkah, dia lalu keluar katanya mau mandi.
                Fiuuuhh…. Aku berbaring di kasur. Ponsel Bulan bergetar, tanda ada SMS masuk. Iseng-iseng aku melihat layarnya, dan terkejut bukan main melihat sebuah nama tertera di sana: Randy. Apakah, Randy yang ini sama dengan Randy-ku?
                Penasaran, aku buka saja pesan yang masuk itu. Maka terpampanglah riwayat percakapannya dengan Bulan. Banyak haha-hihi dan ah-uh-ah-uh yang membuat kepalaku pening. Ini maksudnya apaaaaa? Kucek nomor Randy dalam ponsel Bulan, ternyata memang nomornya sama dengan nomor Randy-ku. Saat itu juga, aku merasa jantungku seakan tercabut paksa dari dadaku.
                Bulan datang tak lama kemudian. Tentu saja ekspresiku sudah berubah, dan Bulan menangkap perubahan itu. “Kamu kenapa?”
                “Kamu yang kenapa!” balasku.
                “Hey hey hey… ada apa sih? Kok tiba-tiba jadi galak gitu?”
                “Lan! Kamu kenal Randy?!” tanyaku tanpa basa-basi.
                “Kenal, memangnya kenapa? Kamu kenal juga?”
                “Dia pacar kamu?” tanyaku lagi.
                “Bukan…. Cuma teman…” jawabnya.
                “Kalau Cuma teman, kok bisa begitu mesra? Bahkan….sms-sms itu…. Memalukan!” aku tak sanggup menahan emosiku. Bulan mungkin tak mengira bahwa aku adalah sahabat Randy.
                “Kamu….cemburu?” dia balik bertanya.
                “Nggak penting Lan.”
                Bulan menghela napas panjang, lalu ia duduk bersila di hadapanku. “Well, oke. Sebelumnya maaf karena aku nggak nyangka ternyata kalian saling kenal. Aku dengan Randy, sebatas teman saja. Namun, yah… maaf jika terdengar sangat vulgar, tapi kenyataannya aku memang dekat dengannya…”
                “Termasuk PS juga?!!” tembakku.
                 Bulan mengangguk. “Aku anggap itu main-main saja. Habisnya Randy manja banget sih… suka gitu-gituan kalau SMS…”
                Aku pun menghela napas panjang.
                “Tapi sungguh, aku nggak suka sama dia. Bagiku dia seperti anak kecil, entahlah… Aku nggak suka sama cowok manja.”
                “Oke. Terima kasih atas penjelasanmu.” Meski rasa hatiku masih berdebum-debum tak karuan, aku mencoba menenangkan diri. Besoknya pagi-pagi sekali aku pamitan pada Bulan dan pulang ke rumah. Sejak itulah aku menghapus nomor Randy dari daftar kontak meski aku masih sangat hafal nomornya. Dia sesekali masih berkirim kabar padaku, aku tahu tapi tak pernah kubalas. Hingga bertahun-tahun lamanya, hingga aku nyaris lupa pada peristiwa itu.
                ***
                “Oya, kamu…sudah menikah?” Tanya Randy. Aku lebih banyak diam sambil berharap kasir segera memanggil namaku agar aku bisa cepat menebus obat.
                “Belum!” jawabku.
                “Sama dong… Aku juga belum.”
                Terus kenapa? Bahagia gitu karena menemukan teman yang masih jomblo? Hah!
                “Kamu tak pernah lagi membalas pesanku, Ra… Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Kenapa kamu nggak pernah cerita?”
                “Ibu Rara…!”
                Ah syukurlah…… aku segera menuju kasir. Dan membayar obatku lalu berpamitan sebentar pada Randy. Dia malah mengejarku keluar apotek.
                “Ra! Rara!”
                “Ada apa! Aku pikir kamu udah menikah sama Bulan.”
                Wajahnya tampak keheranan. “Bulan…? Dia hanya temanku.”
                “Oh begitu? Ya sudah aku pulang duluan.” Kataku tanpa mendengar penjelasannya, lalu mencegat angkot yang lewat di depan apotek. Bagaimana pula kabar Bulan? Entahlah, yang jelas sejak peristiwa itu aku pun malas berteman lagi dengannya. Mungkin benar aku telah cemburu, tapi bukankah sangat wajar? Aku tak ingin lagi berurusan dengan dua makhluk itu! Bahkan selamanya!


bersambung.....

Kamis, 12 Maret 2015

Ketika si Kakak Harus Mengalah



                Mungkinkah, sesama saudara harus selalu rukun? Harus selalu akur dan tidak pernah bermasalah? Seandainya iya, tentu nggak akan terjadi perseteruan Qabil dan Habil hingga menyebabkan Habil terbunuh. Dan nggak akan juga terjadi pembuangan Nabi Yusuf ke dalam sumur oleh kesepuluh saudaranya. Padahal mereka putra-putra Nabi, tapi toh tetap saja melakukan kesalahan. Ya, seandainya kakak dan adik harus selalu dalam keadaan baik-baik saja….
                Ketika melihat adik dan kakak bertengkar, sebagai orang tua tentunya kita kesal dan ingin agar pertengkaran itu berakhir. Kita tak ingin mereka ribut seperti kucing dengan anjing. Namun, mungkin saja tanpa sadar kita telah melakukan cara penyelesaian yang salah… sehingga bukannya menyelesaikan masalah, tapi menumpuk masalah.
                Ada satu kejadian, adik dan kakak yang terus saja terlibat konflik padahal mereka sudah sama-sama berkeluarga. Lambat laun mereka jadi tak pernah bertegur sapa. Kalau di belakangnya mengghibah,. Ah, rasanya seperti musuh saja.
                Ada juga yang sering berkata: “anak-anak saya berantem terus. Si kakak nggak sayang sama adiknya!”
                Mendengar itu saya hanya tersenyum sekaligus kasihan pada sang kakak. Masih kecil saja dia sudah divonis sebagai kakak yang tidak sayang pada adiknya. Duh….
                Fatih dan Thoriq, nyaris tiap hari terlibat konflik. Memang bikin kesel sih, tapi mau diselesaikan dengan cara apa nih? Misalnya Thoriq nangis karena Fatih usil. Apakah dengan memarahi Fatih, menjauhkan Thoriq dari Fatih lantas masalah akan selesai? Sayang sekali ya, mereka ini masih belum mumayiz, belum sempurna pula akalnya. Sekali dibilangin sih ho-oh aja, tapi detik berikutnya lupa deh.
                Contoh masalahnya, Thoriq makan kerupuk. Fatih minta tapi nggak dikasih. Emang si Thoriq itu sense of belongingnya lumayan kuat…jadi agak susah buat diajak berbagi makanan. Nah, akhirnya Fatih nangis. Dalam pikiran saya sebagai orang dewasa…(halah), saya piker “ih pelit banget sih minta sedikit doing!”
                Tapi cuy…. Ternyata pikiran orang dewasa beda dengan pikiran anak-anak… mereka belum bisa berpikir seperti halnya kita. Oke, jadi kalau saya marahin Thoriq lalu bilang ke Fatih “udah diem, ntar kita beli yang banyak. Thoriq ga usah dikasih.”. kira-kira apa yang akan terjadi?
                Begitupun bila yang menangis adalah Thoriq gara-gara tingkah usil Fatih. Saya marahin yang besar, saya jauhkan yang kecil dari kakaknya, apa pula yang akan terjadi?
                Hey… itu hanya akan menjauhkan hati mereka. Membuat yang dibela (biasanya yang kecil) akan ngelunjak, tidak hanya pada kakaknya tapi juga pada ibunya. Memang ya, sepertinya kultur di Negara kita adalah bahwa adik itu harus disayang…kakak harus mengalah. Salahnya orangtua adalah jika tidak benar dalam mengarahkan konflik pada diri mereka. Bukannya selesai masalah tapi menimbun masalah. Ada dendam…. Ada luka….
                Ya, kakak yang biasanya disuruh ngemong adiknya. Kalau adiknya nangis, siapa yang pertama kali ditanya atau disalahkan? Kakak. Lalu, siapa yang disuruh harus mengalah? Kakak. Adik menangis terkesan lemah sehingga layak untuk dibela, padahal bisa jadi dia yang salah.
                Ada baiknya jika mereka berkonflik, kita jangan reaktif. Walaupun misalnya, kita temukan si adik dalam keadaan menangis dan berdarah-darah. Tetap kita harus tabayun. Siapa tahu dia terluka akibat salahnya sendiri, bukan karena kesalahan kakak. Jangan juga kita sodorkan langsung solusi damai dan mengalah bagi sang kakak. Ajak mereka diskusi baik-baik, tanyakan sebabnya apa… kenapa bertengkar…kenapa menangis… dst.
                Lalu timbanglah siapa yang salah di antara mereka. Tak usah ragu katakan pada sang adik bahwa dia salah maka dia harus meminta maaf pada kakaknya. Dan kakak tak perlu mengalah duluan kalau dia memang benar. Ajarkan dia mengatakan dan membela kebenaran. Setelah jelas masalahnya, bolehlah kita ceritakan bahwa mengalah itu baik lho… Tapi tetap yah, kebenaran itu harus dinomorsatukan. Tawarkan perdamaian, ajak mereka bermaaf-maafan dan saling sayang kembali.
                Soalnya, nggak enak banget deh kalau kita berada di posisi “salah”. Kalau sebagai orangtua kita terbiasa menyalahkan sang kakak atau adik, jangan salahkan mereka kalau sampai dewasa pun mereka terbiasa berkelahi. Lha wong kita sendiri yang mencetaknya. Kita sendiri yang membentuk mereka jadi begitu. Kok, setelah tercetak malah heran sendiri kok jadi begini ya anak-anak ini? Kecuali, kalau kita sudah berusaha adil ternyata masih ada kekeliruan dalam diri mereka, ya itu di luar kuasa kita. Seperti Qabil dan Habil, Yusuf dan saudara-saudaranya, itu bukan karena ayah mereka yang tidak adil.
                Alamiahnya anak-anak berkonflik, sebagaimana orang dewasa juga demikian. Namun perlu kita tiru sifat langit mereka. Sifat malaikat mereka. Meskipun bertengkar, berkelahi, mereka selalu punya cara untuk akur kembali. Tertawa kembali. Malah kita nih, orang dewasa lebih senang sifat setan, yang kalau ada salah sedikit saja bisa diam-diaman berbulan-bulan lamanya. Gak bisa memaafkan banget sih, malah ngeghibah di belakang orangnya. Ckckck….
                Ketika ingat bahwa ternyata, anak-anak lebih banyak mengajarkan kebaikan kepada kita, daripada kiita mengajarkannya pada mereka, kadangkala saya merasa sedih…. Maafkan kami Nak, sebagai orangtua telah banyak lalai dalam mendidikmu….