Cari Blog Ini

Minggu, 17 Agustus 2014

Becik Ketitik Olo Ketoro

                Dalam sebuah perjalanan kereta menuju Kediri, Syamsul Hadi bertemu dengan Zidna Ilma (Zizi). Karena ada maling yang kepergok Syamsul, akhirnya keduanya berkelahi setelah mengancam Zizi dengan pisau. Begitu turun dari kereta, keduanya berpisah.
                Singkatnya Syamsul nyantri di pesantren milik kakak Zizi. Salah satu teman Syamsul, Burhan namanya tampak menyukai Zizi, tetapi cemburu berat sebab pernah suatu ketika melihat Syamsul mengembalikan saputangan milik Zizi yang duku dipakai untuk membalut luka Syamsul akibat berkelahi dengan pencuri.
                Gara-gara cemburunya itu ia berniat menyingkirkan Syamsul. Sebuah rencana jahat disusunnya. Ia berjanji akan mentraktir Syamsul tapi dompetnya ketinggalan. Ia lalu meminta Syamsul mengambilkan dompetnya di dalam lemari, tetapi baru saja dompet itu diambil malah kepergok santri lainnya. “ini dia malingnya!” karena rupanya sebelum itu pun sudah ada santri yang kehilangan uang.
                Syamsul diaral beramai-ramai keluar. Dikurung di dalam gudang dan dihajar beramai-ramai oleh santri lainnya. Mudir pondok pun datang, menanyakan langsung masalahnya. Burhan pun dihadirkan, akan tetapi ia justru bersumpah bahwa Syamsul memang bersalah. Hari itu dia telah bermubahalah bahwa apa yang dikatakannya itu benar padahal nyata-nyata itu fitnah. Akibat kebencian yang ada dalam hatinya. akibat tidak rela Zizi “tampak menyukai Syamsul”.
                Bagaimana nasib Syamsul? Dia digunduli, lalu dikeluarkan dengan tidak hormat.
                Sepenggal kisah dalam film “Dalam Mihrab Cinta” karya Habiburrahman el-Shirazy ini secara fiktif menggambarkan dahsyatnya fitnah.
                Fitnah mudah diucapkan, bahkan bisa menyelamatkan diri kita. Tetapi fitnah akan membuat orang yang terfitnah itu kehilangan harga diri, reputasi dan kepercayaan orang lain. Menjadikannya tampak hina dan jelak akhlaknya.
                Seperti Syamsul yang oleh keluarganya sendiri tidak dipercaya. Nadia, adiknya yang paling dekat dengannya sekalipun tak percaya padanya. Ibunya juga. Intinya semua orang menganggap bahwa benar Syamsul itu pencuri.
                Sedangkan Zizi, kebetulan pernah ditolong Syamsul saat di kereta begitu yakin bahwa Syamsul itu orang baik. Kepada kakaknya dia bertanya “apakah Kangmas sudah bertabayun secara benar?”
                Kakaknya ternyata belum tabayun dengan benar. Hanya menerima kesaksian dari satu pihak yaitu Burhan.
                Zizi menyesalkan hal itu. Dengan begitu bijaknya dia berkata “Kangmas, kebenaran itu suatu saat pasti akan jelas. Becik ketitik, olo ketoro”. Yang artinya: baik akan terlihat, jelek juga akan kelihatan.
                Sudah dulu ya ulasan filmnya, panjang banget kalau diceritakan. Namun, hanya ingin bercerita bahwa fitnah itu benar-benar dahsyat. Bahkan dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Bayangkan, kalau pembunuhan itu menghilangkan nyawa. Kalau fitnah itu menghilangkan harga diri seseorang bahkan bisa menjadikan orang baik tampak buruk! Akhirnya bisa saja dikucilkan, dianggap remeh, dijauhi orang, ah itu tentu sangat menyiksa.  
                Bila kita pernah menjadi korban fitnah, tetap tenang dan berbahagialah karena orang yang memfitnah itu pasti akan kena batunya. Sekarang dia bisa tenang-tenang saja karena merasa jadi orang kepercayaan si “penguasa”, nanti juga dia akan merasakan sendiri akibat dari perbuatannya. Kalau nggak di dunia pasti di akherat.
                Allah tidak buta. Allah tidak tuli.

               
 

Selasa, 12 Agustus 2014

Kiai Pahlawan Kiai Teroris

Sekitar 15 tahun lalu, tahun 1999 kami sangat heboh membincangkan satu topic cerita yang terjadi. Tentang perusakan diskotik oleh para ulama. Kami saling berbagi cerita, bagaimana suasana malam itu, para kiai dan ustadz menggerebek diskotik yang berada di bawah tanah, bangunan atasnya berupa hotel yang tak jauh dari rumahku. Ya karena hotel itu ada di desa kami..
Dari luar, hotel itu tampak sepi saja. Ternyata di bawah tanahnya ada diskotik. Para kiai beramai-ramai dengan penduduk setempat mendatangi tempat itu dan melakukan pembakaran dan penghancuran diskotik.

Kala itu, aku masih ingat bagaimana satu kalimat yang menggambarkan bagaimana para kiai itu bertindak. “para kiai menyingsingkan sarungnya berjalan beramai-ramai menuju diskotik yang akan dihancurkan itu”. Kalimat ini, hingga detik ini terus berkesan karena bagiku menggambarkan keheroikan mereka. Ya, kami menganggap para kiai ini adalah pahlawan sebab berani menghancurkan tempat maksiat.

Suasana kampung pun memanas, sebab kejadian itu. Aku yang masih sekitar kelas 6 SD hanya mendengar sana-sini terkait kejadian itu.
Namun sekarang, 15 tahun kemudian, diskotik dan semacamnya tersebar luas bahkan meski sudah diberitakan di media cetak pun sepertinya para kiai diam saja. Yaaaa, diam. Padahal kejadian 15 tahun lalu itu tidak banyak yang tahu, alias memang rahasia dan bawah tanah. Tapi para kiai bisa mengetahuinya dan menghancurkannya, dan kami bangga.
Sekarang, sudah terang-terangan… dan kalau ada kiai yang merusak diskotik itu pasti bukan lagi pahlawan. Melainkan anarkis, teroris!
Luar biasa 15 tahun ini media telah menggeser makna sebuah “penghancuran tempat maksiat” menjadi sebuah anarkisme. Bahkan kiai yang tidak menghancurkan pun tetap mendapat cap teroris. Oh dunia, sudah begini parahkah engkau? Maksiat terang-terangan dibiarkan, dan orang yang ingin menghancurkannya disebut teroris….
Dulu di kampung kami, kalau ada yang berzina itu diarak beramai-ramai… sekarang, dinikahkan diam-diam dan semua sepakat untuk diam. Kalau ada yang bicara, itu dipaksa diam karena akan membuka aib.

Kami merindukan ulama kami yang telah wafat…yang masih memegang kemurnian akidah…

Sabtu, 09 Agustus 2014

Kelapangan Dada Imam Abu Hanifah dan Kebesaran Jiwa Khalifah


                Fatih (4th) suka sekali mendengarkan kisah “jagoan dari negeri Syam”, ya beliau adalah Imam Abu Hanifah. Menelusuri kisah beliau sangat mengagumkan, penuh inspirasi dan memberikan kita semangat untuk menuntut ilmu.
                Abu Hanifah an Nu’man lahir di kota Kufah pada tahun 80 H. ayahnya adalah pedagang kain sutra yang sukses. Sejak kecil beliau sering membantu ayahnya berdagang di pasar. Namun beliau juga rajin mengaji dan menuntut ilmu. Pada usia 10 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
                Beliau pun rajin belajar, tetapi mulai jarang menghadiri majelis ilmu karena sibuk berdagang. Atas saran dari seorang ulama, beliau pun kemudian menjadi rajin menuntut ilmu pada seorang guru. Ilmu-ilmu dibentangkan di depan matanya, kemudian dipilihlah satu ilmu yang menjadi spesialisasinya. Maka dipilihlah ilmu fikih.
                Beliau menjadi guru, dengan banyak murid. Beliau sangat memerhatikan murid-muridnya, biaya pendidikan pun digratiskan. Sampai-sampai Abu Yusuf suatu hari ditanya oleh beliau kenapa jarang menghadiri majelis ilmunya? Abu Yusuf mengaku karena sibuk mencari penghidupan dan bakti pada orangtuanya. Apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah? Diberikannya uang pada Abu Yusuf agar tak sibuk bekerja. Bahkan kalau uang itu habis, segera kabari beliau. (sudah gratis biaya pendidikannya, diberikan tunjangan hidup pula).
                Namanya semakin harum sebagai ulama yang adil dan mendalam ilmunya. Ketika beliau berada pada masa kejayaannya, justru bani Umayyah berada pada masa keruntuhannya. Terjadilah pemberontakan oleh gerakan-gerakan rahasia, beliau pun memilih untuk menyelamatkan ilmunya dengan pindah ke Makkah. Di sana beliau berguru pada Imam Malik dan mendapatkan banyak hadits yang masih terjaga keshohihannya.
                4000 orang telah menjadi guru beliau, tentu ilmunya sangat mendalam. Hingga beliau kembali lagi ke Kufah pada masa kepemimpinan Khilafah Abbasiyah (yang saat itu Khalifahnya Abu Ja’far al-Manshur), beliau diminta untuk menjadi Qadli. Qadli adalah jabatan tinggi kala itu. Namun beliau menolak. Sebab beliau merasa tidak mampu untuk menghukumi Khalifah dan para panglimanya. Bukan karena tidak ‘alim.
                Hal ini, menurut saya sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Banyak orang berebut menjadi Hakim Agung atau apalah istilahnya, padahal ilmu belum sedalam lautan, tapi ambisi begitu besar untuk mendapatkan jabatan bergengsi. Imam Abu Hanifah tetap tidak mau menduduki jabatan tersebut, sebaliknya Khalifah hanya mau kedudukan Qadli itu disandang oleh ulama yang adil seperti Imam Abu Hanifah. Sampai sini saya memandang bahwa keduanya tidak ada yang salah. Pun ketika Khalifah marah hingga memenjarakan beliau. Masya Allah yah, Khalifah memenjarakan ulama seperti beliau KARENA beliau tidak mau menduduki jabatan Qadli. Nah kalau sekarang hakim pun bisa dipenjarakan karena…..you know laaaah kasusnya biasanya apaan.
                Ini ada lagi yang menarik. Ketika dalam penjara, usia beliau mendekati 70 tahun. Seorang sipir penjara menyiksanya, ketika ditanyakan siapa namamu dan apa yang telah kau perbuat? Beliau diam saja. Hingga dicambuki dan rekan sipir itu berujar.
                “Dia adalah ulama.”
                Sang penghukum tadi terkejut, “Apa? Dia seorang ulama? Aku telah menyiksa seorang ulama? Celakalah aku….” Maka ia tersungkur penuh penyesalan dan menangis karena telah menyiksa seorang ulama.
                Saya takjub!
                Masa sekarang, kita melihat bersama. Ulama sholih Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diperlakukan dengan tidak hormat oleh para xxxxxxxxxx (isi sendiri deh, saya malas menyebutnya apaan). Diseret, disidang, di…….. ah nggak sopan banget sih! Jangankan menangis menyesal karena telah menyiksa seorang ulama, ini malah dengan pongah menuduhnya sebagai teroris? Sungguh heran saya, di mana akal sehatnya? Seharusnya kan Israel, AS, dan sekutunya itu yang layak disebut teroris?
                Keheranan itu bermuara pada satu konklusi. Bahwa pada masa Imam Abu Hanifah itu adalah ketika syariat Islam diterapkan, ya, dalam institusi Khilafah Islamiyah. Sedangkan sekarang, ketika para ulama dan mujahidin dicap teroris, itu adalah masa ketika syariat islam dicampakkan, lalu yang ditegakkan adalah system demokrasi, bukan KHilafah Islamiyah! Semoga mata hati kita tidak buta untuk melihat mana system yang baik dan mana system yang tidak baik. Sebab hari ini kita menyaksikan pemerintahan thogut telah angkuhnya menyatakan bahwa ada hukum lain yang lebih tinggi dari hukum Islam, yaitu pancasila, UUD 45, demokrasi! (lihat QS al-maidah:50) semoga hati kita terbuka.
                Kelapangan dada ulama , dan kebesaran jiwa Khalifah… hingga di akhir hayat beliau, sang Khalifah meminta maaf dengan penuh penyesalan karena telah memenjarakan beliau, khalifah bertanya “apa yang kau inginkan wahai Imam?”
                Beliau menjawab “aku hanya ingin kau memasukkanku ke dalam surga dan mengeluarkan aku dari neraka.”
                Khalifah tercengang, “itu hanya kuasa Allah.”
                “Tapi hanya itu yang kuinginkan.” Lalu beliau meninggal.

                Subhanallah….sungguh ilmu dan nasihat yang sangat berharga pagi ini, setelah melihat acara Khalifah dan pencerahan dari Ustadz Budi Ashari.

Minggu, 18 Mei 2014

Kebobrokan Perilaku Seks Remaja


Bisnis pelacuran kini sudah merambah ke kalangan pelajar, SMA bahkan SMP. Pelajar yang tugas utamanya adalah belajar, justru menjual diri mereka agar bisa mendapatkan uang dengan cara mudah.

            Baru-baru ini seorang remaja di Serang menjual dua temannya sendiri. Mereka berdua rela menjual dirinya dengan alasan untuk membayar biaya UN. Memang masalah ekonomi sering dijadikan sebagai kambing hitam untuk melegalisasikan perbuatan nista mereka. Dengan tarif yang cukup menggiurkan, tanpa bekerja keras sudah bisa mengantongi rupiah.

            Inilah kenyataan yang terjadi dan sangat membuat hari miris. Para pelajar ini tak lagi berorientasi untuk mengejar prestasi dan memperbagus diri dengan akhlak dan budi, melainkan lebih memilih bekerja mencari uang meskipun harus kehilangan kehormatan diri dan keluarganya. Tak malu-malu lagi, ada di antaranya yang menjadi mucikari, tega menjual teman-temannya sendiri untuk mengeruk keuntungan yang berlipat-lipat.

            Potret Buram Pendidikan

            Kasus seks bebas di kalangan pelajar sebenarnya bukan hal yang baru. Kasus demi kasus terus bermunculan, mulai dari tersebarnya video mesum, maraknya pelacuran via internet, menjadi mucikari dan yang heboh juga adalah fenomena cabe-cabean hingga menular sampai ke SD. Jelas ini adalah bencana besar bagi bangsa ini. Tatkala para pelajarnya lebih senang dengan hal-hal cabul, mengesampingkan apa yang menjadi ajaran agama dan nilai social tentu kehancuranlah baginya.

            Negara-negara maju sudah menciptakan senjata yang canggih, menemukan penemuan terbaru yang hebat di bidang teknologi, akan tetapi remaja di negeri ini terus memenuhi otak mereka dengan hal-hal berbau seks.

            Kita patut bertanya, sebenarnya apa peran pendidikan yang selama ini dienyam? Kita meti introspeksi diri, apa yang sudah kita ajarkan kepada anak-anak kita tentang moral dan agama? Pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan formal di sekolah, tetapi yang terpenting adalah pendidikan dalam keluarga. Bagaimana ayah dan ibu menanamkan iman dalam diri anak, menumbuhkan rasa malu terhadap lawan jenis, dan menghiasi mereka dengan akhlak mulia.

            Bukan sekadar memotivasi mereka agar berprestasi dalam bidang akademik semata. Lebih dari itu, karakter seorang muslim perlu ditumbuhkan dan dijaga. Agar tidak menjadi remaja yang bingung, yang dengan alasan mencari jati diri lantas merusak diri dengan menjual dirinya.

Pendidikan Seks dalam Islam

            Islam menganggap seks adalah salah satu bagian dari naluri manusia normal. Naluri untuk mempertahankan jenisnya. Seks dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan bernilai ibadah tatkala dilakukan oleh pasangan suami istri yang mengharap pahala dari sisi Allah swt. Bukan untuk coba-coba di antara sesama teman, dianggap sebagai sebuah permainan belaka.

            Seks bila dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah akan mendatangkan pahala, sebaliknya bila dilakukan oleh pasangan yang tanpa ikatan pernikahan justru merupakan dosa besar yang dimurkai Allah swt.

            Jiwa-jiwa para remaja perlu dibenahi. Bahkan sejak dini mereka seharusnya mendapatkan pendidikan yang baik, pendidikan yang tidak hanya baca tulis dan hitung. Namun mengajarkan kepada mereka keimanan, juga rasa takut kepada Allah swt, bahwa apapun yang kita lakukan suatu saat kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

            Oleh karena itu selayaknya para orang tua memerhatikan betul perkembangan putra-putrinya, mengawasi pergaulannya, dan terus mendidiknya dengan agama sebagai benteng pertama dan utama dalam dirinya. Masyarakat pun berperan serta dalam mengontrol perilakunya. Semua saling bekerja sama dalam memperbaiki kondisi masyarakatnya.

            Berikutnya Negara juga lebih penting lagi dalam menjaga moral rakyat, memberi teladan yang baik. Membatasi tayangan di televisi yang bisa merusak. Memberantas pornografi dan menutup semua lokalisasi pelacuran. Memusnahkan pabrik miras. Mensterilkan internet dari situs-situs porno dan hanya menayangkan tayangan edukasi maupun siraman rohani. Karena negeri ini krisis iman dan krisis rasa malu. Ketika rasa malu hilang, maka hilanglah keimanan dan rusaklah generasi.

Jumat, 02 Mei 2014

Singa Bermental Kambing

Dalam bagian akhir novel KCB 2, saya terinspirasi oleh cerita Azzam tentang fable Singa yang terperangkap dalam tubuh kambing.
Saya ceritakan kembali dengan bahasa saya....

Suatu hari seekor singa melahirkan seekor singa, tetapi dia meninggal. Tiba-tiba lewatlah serombongan kambing, sang induk kambing kasihan melihat bayi singa yang tanpa ibu itu. Tubuhnya lemah tak berdaya.
Singkat cerita, singa tersebut dibawa oleh induk kambing. Dirawat dengan sepenuh kasih, seperti kepada kambing-kambing lainnya. Singa itu makan seperti kambing makan, bahkan suaranya juga bukan suara auman melainkan "embeeeeekkkk"
Suatu hari dating seeor serigala yang siap menerkam kambing-kambing itu. Singa itu ketakutan. Ia bersembunyi di balik badan induk kambing.
Salah satu kambing dterkam srigala. Induk kambing marah.
"Kamu kenapa tidak bias melawan srigala! kamu ini singa!"
Namun singa itu melongo saja. Tak paham perkataan induk kambing itu.
Ketika ada srigala lagi, dan induk kambing diterkam. Singa melawan dengan tubuhnya yang kekar dan srigala ketakutan. Begitu singa mengeluarkan suara "embeeeeek", srigala jadi tidak takut lagi. Dia berpikir "ah ini hanya singa yang bermental kambing."

Pada hari lainnya, datanglah seekor singa dewasa. Kawanan kambing berlari ketakutan. Singa ikut lari. Dilihatlah oleh singa dewasa itu. "Hai kamu kenapa lari.... Aku tidak makan anak singa. Aku hanya makan anak kambing!" namun singa itu terus saja menjauh dari singa dewasa.
Diterkamlah singa itu, "aku tidak akan memangsamu. Ayo ikut aku." diajaklah ia ke sebuah sungai.
Mereka menatap permukaan sungai dan tampaklah wajah mereka sama persis.
"Kamu adalah singa. Bukan kambing. Kamu harusnya hidup sebagaimana layaknya singa, si raja hutan. Bukan menjadi kambing."
Maka singa itu pun sadar. Dia selama ini adalah seekor singa, tetapi hidup seperti kambing.
"Kuajari kau hidup selayaknya singa." maka singa dewasa itu mengajari singa kecil cara mengaum yang benar.
Singa itu akhirnya sadar siapa dirinya, dan hidup sebagaimana semestinya....

Bisa jadi, kita adalah "singa" yang hidup dalam tubuh kambing. Kita "singa bermental kambing". Kita punya potensi yang besar tetapi hidup nyaman sebagai kambing.
Allah sudah mengatakan bahwa kita (umat islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar ma'ruf nahy munkar dan itulah orang-orang yang beruntung.
 Namun kita tak mau mengubah apa yang selama ini menjadi gaya hidup kita.
Kita punya potensi untuk jadi ahli matematika, tetapi kita malas berhitung.
Kita punya potensi untuk jadi penulis, tapi kita malas menulis.
Kita punya potensi untuk jadi pebisnis, tapi kita terlalu nyaman menjadi buruh.
Kita punya potensi untuk kaya raya, tetapi kita membiarkan kekayaan kita dirampok orang.
Tanah air kita subur makmur, tetapi.... Tanah masih ngontrak, air pun masih beli. hahaha....
Alam Indonesia bagaikan zamrud tetapi rakyatnya bagai tikus mati di lumbung padi.

Kita umat Islam, yang punya kekuatan untuk menggentarkan musuh-musuhnya tetapi kita memilih menjadi "kambing" yang ketakutan pada srigala licik yang sebenarnya lemah. Kita lupa bahwa kita adalah "singa". Singa-singa Allah yang seharusnya bias memakmurkan bumi dengan kalimatullah. Dengan ajaran-ajaran Islam yang mulia.

Bisa jadi ada yang sudah sadar dirinya singa, tetapi tetap memilih jadi kambing.
Bisa jadi ada yang ingin semua orang jadi kambing saja seperti dirinya. Agar bias mudah lari kalau ada srigala, tanpa harus melawannya.

* jangan mau jadi kambing,karena kambing akan dipotong setahun sekali.. :P

Sabtu, 12 April 2014

Bahasa dan Kaitannya dengan Budaya (bukan teori bahasa)


            Betapa pentingnya sebuah bahasa, karena bahasa mencerminkan kebudayaan daerah tertentu. Saya menuliskan ini bukan dengan teori-teori kebahasaan, karena saya gak begitu paham teorinya, kaidahnya, segala macemnya. Yang akan saya bahas di sini, berdasarkan hasil diskusi dengan my hubby… bahwa beraneka bahasa itu ternyata luar biasa. Kita batasi pembahasan kita dalam 4 bahasa aja ya. Kalau kebanyakan, bosen nantinya. Hehe.

            Di antaranya, bahasa Inggris, Indonesia, Arab dan tentu saja bahasa Jawa. Ini bukan tulisan ilmiah, belum teruji di IPB dan ITB sebab belum melalui tahapan penyaringan kuman. J

            I Love You. Ini jelas bahasa Inggris. Tapi gimana cara membacanya? Ay lov yu, kan? Gitu juga You Can Tooth I Pink Sun, silakan dibaca sendiri ya….

            Kalau bahasa Indonesia, yaaa apa adanya. Saya ya dibaca saya. Kamu ya dibaca kamu. Iya ya dibaca iya. Kecuali orang alay yang udah merusak bahasa. Saya ditulisnya saiiiaaaa, iya ditulisnya eeeaaaaa. Kamu ditulisnya kamyuu… adoooh please deeeeh….

            Sedangkan bahasa Jawa, cenderung banyak menggunakan ungkapan. Kiasan. Ada pula kata yang punya banyak makna. Misalkan, “witing tresno jalaran suko kulino/tumbuh cinta karena seringnya bertemu”, kemudian kata “garwa” bermakna istri, tetapi garwa juga memiliki makna tersembunyi dan tidak banyak yang tahu. “Sigaran Nyawa” atau belahan jiwa. Ketika mendengar istilah ini, saya takjub. Waaah….so sweet banget sih, disebut belahan jiwa gitu loooh.

            Terakhir, bahasa Arab. Katanya sih bahasa Arab itu susah. Belajar bertahun-tahun lebih banyak lupanya daripada ingatnya. Terlepas dari encer tidaknya otak orang yang mempelajarinya, bahasa Arab itu satu-satunya bahasa yang punya sistematika runut, unik, teratur dan lengkap hanya dengan satu kata dasar. Contohnya aja, kata dasar “pukul”, itu lengkap banget penjabarannya mulai dari subjek dan objek pemukulan, kapan waktunya, perintah dan larangan memukul, jumlah orang yang memukul, laki-laki atau perempuan, itu semuanya punya bentuk yang berbeda-beda.

            Oke, kita mulai bahas ya satu per satu, dilihat dari bentuk bahasanya dengan falsafah hidupnya. Tsahh…..

            Bahasa Inggris

            Bisa dibilang, orang Inggris ini orang yang bermuka dua. Di depan bilang begini, di belakang bilangnya lain. Ya dari bentuk bahasanya itu lho. You dibaca yu, I dibaca ay. Antara aksara dengan pengucapannya sangat berbeda. ABCDEFG-ei bi si di ei ef ji- Beda banget kan? Makanya, nggak heran kalau penjajah Inggris itu suka bermanis muka untuk mendapatkan kepentingannya. Terbukti, umat Islam terpecah belah karena kelicikannya.  Dengan catatan, tidak semua orang Inggris seperti ini. Kan sudah saya bilang, saya tidak pakai teori-teori kebahasaan.

            Bahasa Indonesia

            Kita semua sudah terbiasa dengan kesamaan antara tulisan dengan pengucapan. Yaaah kecuali makhluk alay tentu aja. Jadi memang pada dasarnya masyarakat Indonesia itu apa adanya, jujur. Namun, adanya banyak gaya bahasa juga bisa memengaruhi karakter seseorang. Ada gaya bahasa litotes yakni merendah, contohnya: “mampirlah ke gubuk kami” padahal kenyataannya rumah yang bagus. Personifikasi, ironi dan hiperbola. Kira-kira saat ini manakah yang sering digunakan masyarakat kita ya? Saya inget dulu sering mempelajari peribahasa. Peribahasa-peribahasa itu sebenarnya sangat bagus kalau dipahami.

·        Semut di ujung lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.

·        Tong kosong nyaring bunyinya

·        Sebab nila setitik, rusak susu sebelanga.

Namun, entah ada apa ya sama bangsa kita sekarang ini, kenapa jadi nggak “apa adanya” tapi malah “ada apanya”. Sebagian besar lebih cinta dunia, pada materi semata. Orang jadi gila jabatan, gila kekuasaan, bahkan gila beneran saat gagal nyaleg.

Waktu saya SD, sering sekali belajar tentang Hang Tuah, cerita-cerita Melayu, dsb. Juga pantun nasihat seperti ini:

Asam kandis asam gelugu

Ketiga asam siriang-riang

Menangis di pintu kubur

Teringat badan tidak sembahyang.

 Eeealaaaah zaman anak SD sekarang, cerita di buku paketnya malah “Bang Maman dari Kalipasir”, atau “Istri Simpanan”. Gimana nggak parah moral anak-anak kalau bacaannya model begituan? Jadi menurut saya, bacaan yang sering dibaca seseorang itu akan memengaruhi perilaku orang tersebut.

Oya, bahasa Indonesia juga mengenal istilah “ambigu”. Ada yang sama tulisannya tapi beda pengucapan. Tahu (makanan), tahu (mengerti akan sesuatu). Ada yang sama pengucapan tapi beda penulisan. Bank (tempat menyimpan uang), bang (panggilan untuk kakak laki-laki). Juga ada yang sama dalam pengucapan dan penulisan, contohnya bisa (dapat), dan bisa (racun).

Ada satu lagi yang lucu dari bahasa Indonesia.

Masuk-ke dalam

Naik-ke atas

Turun-ke bawah

Keluar-ke luar? Lha kok sama aja keluar?

Kita lanjutin ke bahasa Jawa nyooook

Bahasa Jawa

Masuk-ning jero

 Naik-ning duhur

Turun-ning esor

            Keluar-metu.

            Masyarakat Jawa, sebagiannya masih percaya hal-hal klenik. Suka takhayul dan gemar mengait-ngaitkan satu kejadian dengan kejadian lainnya. Garwa, maknanya istri. Namun tidak cukup sampai di situ, dicarilah makna tersembunyinya yaitu sigaran nyawa. Singkatnya, orang Jawa suka dengan filosofi. Makanya pernikahan adat Jawa sarat dengan ritual yang mengandung filosofi. Ritual mandi kembang saat malam midodareni, harus ayahnya yang menggendong setelah mandi. Lalu ritual lempar sirih, injak telur, dan sebagainya. Banyak sekali filosofinya.

            Karena itulah, orang Jawa suka bermain kiasan. Yang kadang terdengar puitis. Namun sisi negatifnya adalah jadi suka ritual yang terkadang nggak masuk akal. Ritual larung sesaji, supaya nyai roro kidul nggak marah… ritual iring-iringan kyai Slamet pada Muharaman, dan banyak lagi lainnya. Padahal, tak perlulah mencari ada makna apa yang “di luar nalar” tersebut. Tak perlu berlebihan dalam mencari makna tersembunyi itu….

            Bahasa Jawa juga masih terpengaruh budaya kasta, karena ada tingkatan bahasa mulai dari paling halus hingga paling kasar. Kepada yang sebaya kita bisa bicara dengan tingkat bahasa paling kasar, tapi kalau kepada yang lebih tua jangan coba-coba kalau nggak mau dijitak. Yaaaah. Kenapa hanya kepada yang lebih tua saja kita diharuskan berbicara dengan bahasa halus tapi kepada yang sebaya atau lebih muda tidak diharuskan?

            Bahasa Arab

            Terlepas dari dalil dan keutamaan mempelajari bahasa Arab, saya akan mengulas sesuatu yang bukan berdasarkan teori, jadi bisa banget untuk salah….hehe

            Kalau belajar tashrifan kita mungkin ingat dengan wazan –nashoro-nashoroo-nashoruu, atau huwa-huma-hum-hiya-huma-hunna-anta-antuma antum-anti-antuma-antunna-ana-nahnu.

            Jadi bahasa Arab ini paling sistematis dalam mengubah satu kata dasar menjadi berbagai macam bentuk. Mulai dari subjeknya, objeknya, keterangan tempat, keterangan waktu, keterangan alat, jangan melakukan, lakukan, kata ganti yang super lengkap melebihi they we are you. Iya, dalam bahasa Arab itu subjek bisa berbeda berdasarkan jenis kelaminnya…. Kalau nggak percaya, coba deh buka buku panduan bahasa Arab, terutama bagian shorof maka akan ditemukan pola kata yang lengkap, teratur, sesuai dengan subjeknya (kata ganti berbeda, maka bentuk kata jadi berbeda).

            Contoh: Kamu membuka (bahasa Indonesia kan begini aja)

Bahasa Arab bisa banyak bentuknya:

Dia membuka—yaftahu

Dia (dua orang) membuka—yaftahaani

Mereka (laki-laki) membuka—yaftahuuna

Mereka (perempuan) membuka—yaftahna

Kamu (laki-laki) membuka—taftahu

Kamu (dua orang laki-laki) membuka—taftahaani

Kalian (laki-laki) membuka—taftahuuna

Kamu (perempuan)membuka—taftahiina

Kamu (dua orang perempuan) membuka—taftahaani

Kalian (perempuan) membuka—taftahna

Saya membuka—aftahu

Kami membuka—naftahu

Bukalah!—iftah-iftahaa-iftahuu (laki-laki)

Iftahii-iftahaa-iftahna (perempuan)

            Subhanallah…..begitu lengkap penjabarannya, hanya dari kata ganti. Sedangkan, kata dasar “fataha/buka”, juga bisa dibentuk menjadi:

Maftahun—tempat untuk membuka

Miftahun—alat untuk membuka

Faatihun—orang yang membuka

            Bener sih, belajar bahasa Arab itu banyak banget aturannya. Melebihi grammarnya bahasa Inggris. Namun, kesan yang saya dapat terhadap bahasa Arab ini adalah:

·        Bahasa Arab itu teratur, menyeluruh… begitulah agama Islam. Teratur dan menyeluruh, dari hal terkecil sampai yang terbesar. Semua ada polanya, ada tata caranya yang nggak bisa sembarangan kita buat.

·        Bahasa Arab itu separuh dari agama Islam, sebab alQuran sebagai kitab sucinya berbahasa Arab. Bagaimana kita akan mengerti kitab suci kita kalau nggak mempelajari bahasa Arabnya?

·        Bahasa Arab itu disiplin. Ketat polanya, tapi fleksibel. Begitu pula contoh hukum syaranya. Sholat, peraturannya ketat. Kalau nggak sholat, berarti dia berdosa. Namun juga fleksibel. Kita bisa mengerjakannya tidak selalu pada awal waktu meskipun di awal waktu itu lebih utama. Setidaknya kita punya waktu sampai menjelang ashar jika kita nggak bisa sholat zuhur di awal waktu banget. Tentu aja berbeda pahalanya. Kita juga tetep wajib sholat meski kita sakit berat. Bisa sambil duduk, berbaring bahkan hanya dengan isyarat mata juga boleh…. Dan kalau sedang bepergian kita bisa menjamak atau mengqoshornya. Yang penting tetap dilakukan dan akan dikasih keringanan gituuu…

 

Masih banyak hikmah bahasa yang belum bisa dibahas semuanya. Khususnya bahasa Arab, kalau kita mempelajarinya maka berpahala lho…dan mencerminkan kebudayaan di baliknya. Yah, meski umat islam saat ini jauh dari keteraturan seperti halnya bahasa Arab, sangat bisa jadi itu karena umat islam yang mayoritas di negri ini lebih suka bahasa inggris dan Korea, atau malah bahasa alay daripada bahasa Arab. Hehe…

Oleh karena itu, bacalah! Bacalah! Bacalah! Lalu bangun dan berilah peringatan! Begitu kan? Sungguh begitu banyak inspirasi bertebaran di dunia ini. Maka bukalah mata, pikran dan hati untuk lebih menikmati indahnya dunia ini. Menikmati lalu mengubahnya menjadi lebih berarti.

Dan ini sih bukan teori, Cuma renungan semata…. Sama sekali nggak bermaksud SARA apalagi menghina bahasa. Karena beragamnya bahasa itu juga karunia Allah yang harus kita syukuri. oke? J

Rabu, 12 Februari 2014

First Love



1.     
Deg-degan lah yaaa pastinya, saat pertama kali ketemu sama pangeran ganteng (ihiiiiirrr), yang dengan jantannya melamarku dan menjadikanku istrinya. Assseeek... Bukan sebagai pacar apalagi TTM (Teman Teh Manis, uuupsss Teman Tapi Mesra). Yah malam Jumat itu, adalah malam akad nikah kami.
Gue lihat, dia memakai baju koko warna coklat. Sarung kotak-kotak, kopiah putih dan sorban hijau di lehernya seperti syal. Dan itu lho, kacamatanya yang bikin dia kelihatan lebih cerdas dan menambah aura kegantengannya.
Bukan maksud gue melihat lelaki dari segi fisik belaka. Gue malahan baru ketemu sama dia pas acara lamaran. Itu ceritanya yaaa karena dia ngefans kali sama tulisan-tulisan gue di blog (mungkin lhooo yaaaa), atau mungkin dia mimpi apa gitu yang mengilhamkan dirinya datang ke rumah gue. Mungkin pula, dia nggak sengaja melangkahkan kakinya sampai di depan pintu rumah gue terus begitu ketok pintu... kreeeek....
“Ya, ada apa?” tanya bokap gue yang membukakan pintu.
“Permisi Pak, saya mau tanya. Apakah Bapak punya anak perempuan?” tanya dia.
“Punya. Satu doang. Memangnya ada apa? Kamu mau melamarnya? Kebetulan tuh, ada di dalam. Kasihan dia, tak ada satu pun pria mau dengannya.”
“Baiklah kalau begitu, saya melamar dia saja Pak.”
Hah? Segitu parahnyakah gue, sampai ada pria nyasar ke rumah pun langsung diterima menjadi menantu bokap gue? Hiks hiksss....
Seterusnya, waktu ketemu pertama itu. Dia diam saja. Menyapa gue aja nggak! Ngucapin salam kenal, say hello aja nggak! Apalagi mau bacain puisi atau nyanyi lagu dangdutnya Bang Haji Rhoma, boro-boro! Jadi ya sebagai perempuan baik-baik dan tidak sombong serta rajin cuci WC, gue diam juga. Gak mungkin kaaaan gue ajak dia makan somay di kecamatan? Apalagi ngajak dia balap makan kerupuk.
Sepanjang pertemuan itu, yang banyak ngobrol ya keluarga kami. Sementara kami cukup sebagai pendengar saja. Kadang curi-curi pandang sih (boleh kan nadhor? Supaya menemukan kecenderungan agar semakin kuat niat untuk menikah dengannya. Rasulullah juga menganjurkan hal ini kan? Asal jangan meolototin aja. Malu tahuuuuu)
Dan, terjadilah malam pernikahan kami ini. Ya ampuuuunn, aku baru saja selesai shalat Isya saat rombongan mempelai pria datang. Kami memang merencanakan nikah siri (nikah tanpa dicatat KUA) pada malam harinya, dan besok pagi kami mencatatkan nikah kami dengan mengundang bapak petugas KUA.
“Waduh! Gimana nih? Gue belum siap-siap.” Gue bingung. Akhirnya yaaa pakai baju ungu yang udah gue siapin untuk nikah, dengan hiasaan payet-payet dan kerudung hitam biasa. Mana sempat deh pakai kerudung style zaman sekarang yang lilitannya ada di mana-mana. Lagian juga kagak syar’i....
Gue buka pintu kamar pelan, dan berusaha bersikap biasa aja dengan menyalami para tamu yang ada di ruang tengah tempat akad nikah ntar. Gue salamin hampir semuanya, dan pas di depan sang calon suami....heeeuuu gue langsung kabur! Kagak jadi salam dan sapa. Beneran grogi sampai kelihatan gitu saltingnya, dan ngacir ke dapur. Nggak lama kemudian, akad nikah dimulai. Gue dengerin suaranya dari balik dinding.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya.....” gitu deh seterusnya dia latihan di depan penghulu.
“Oya, maharnya apa?” tanya penghulu.
“Maharnya, kitab tafsir Ibnu Katsir dan hafalan al-Qur’an.”
“Sebaiknya, mahar itu berupa uang atau barang berharga yang bisa dijual. Jangan itu.”
Gak lama kemudian dia nawarin maharnya uang 300 ribu.
“Apakah Yuni bersedia dengan mahar segitu?” tanya suara dari dalam.
Gue sih pengennya uang satu milyar, atau gunung emas kayak di Papua gitu, tapi kata Rasul, wanita yang maharnya sedikit (artinya gak memberatkan mempelai pria) maka dia adalah wanita yang penuh barokah. Maka gue terima aja, daripada ntar kelamaan. Heeee.
Sah! Sah! Gak lama kemudian terdengar kata itu. Gue disuruh masuk untuk salaman sama suami gue. Apaaah?! Suami? Masya Allah cepat sekali status gue berubah. Ish ish, ntar update status di Facebook yah: Married gitu yaaa. Sip!
Tangannya gue cium. Kami berdoa bersama, terus yaaaa. Udah ah! Intinya gue jatuh cinta pertama kalinya sama tuh lelaki. Namanya: Tri. Kelak kupanggil dia: Aa.
Hehe....