Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Agustus 2014

Kelapangan Dada Imam Abu Hanifah dan Kebesaran Jiwa Khalifah


                Fatih (4th) suka sekali mendengarkan kisah “jagoan dari negeri Syam”, ya beliau adalah Imam Abu Hanifah. Menelusuri kisah beliau sangat mengagumkan, penuh inspirasi dan memberikan kita semangat untuk menuntut ilmu.
                Abu Hanifah an Nu’man lahir di kota Kufah pada tahun 80 H. ayahnya adalah pedagang kain sutra yang sukses. Sejak kecil beliau sering membantu ayahnya berdagang di pasar. Namun beliau juga rajin mengaji dan menuntut ilmu. Pada usia 10 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
                Beliau pun rajin belajar, tetapi mulai jarang menghadiri majelis ilmu karena sibuk berdagang. Atas saran dari seorang ulama, beliau pun kemudian menjadi rajin menuntut ilmu pada seorang guru. Ilmu-ilmu dibentangkan di depan matanya, kemudian dipilihlah satu ilmu yang menjadi spesialisasinya. Maka dipilihlah ilmu fikih.
                Beliau menjadi guru, dengan banyak murid. Beliau sangat memerhatikan murid-muridnya, biaya pendidikan pun digratiskan. Sampai-sampai Abu Yusuf suatu hari ditanya oleh beliau kenapa jarang menghadiri majelis ilmunya? Abu Yusuf mengaku karena sibuk mencari penghidupan dan bakti pada orangtuanya. Apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah? Diberikannya uang pada Abu Yusuf agar tak sibuk bekerja. Bahkan kalau uang itu habis, segera kabari beliau. (sudah gratis biaya pendidikannya, diberikan tunjangan hidup pula).
                Namanya semakin harum sebagai ulama yang adil dan mendalam ilmunya. Ketika beliau berada pada masa kejayaannya, justru bani Umayyah berada pada masa keruntuhannya. Terjadilah pemberontakan oleh gerakan-gerakan rahasia, beliau pun memilih untuk menyelamatkan ilmunya dengan pindah ke Makkah. Di sana beliau berguru pada Imam Malik dan mendapatkan banyak hadits yang masih terjaga keshohihannya.
                4000 orang telah menjadi guru beliau, tentu ilmunya sangat mendalam. Hingga beliau kembali lagi ke Kufah pada masa kepemimpinan Khilafah Abbasiyah (yang saat itu Khalifahnya Abu Ja’far al-Manshur), beliau diminta untuk menjadi Qadli. Qadli adalah jabatan tinggi kala itu. Namun beliau menolak. Sebab beliau merasa tidak mampu untuk menghukumi Khalifah dan para panglimanya. Bukan karena tidak ‘alim.
                Hal ini, menurut saya sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Banyak orang berebut menjadi Hakim Agung atau apalah istilahnya, padahal ilmu belum sedalam lautan, tapi ambisi begitu besar untuk mendapatkan jabatan bergengsi. Imam Abu Hanifah tetap tidak mau menduduki jabatan tersebut, sebaliknya Khalifah hanya mau kedudukan Qadli itu disandang oleh ulama yang adil seperti Imam Abu Hanifah. Sampai sini saya memandang bahwa keduanya tidak ada yang salah. Pun ketika Khalifah marah hingga memenjarakan beliau. Masya Allah yah, Khalifah memenjarakan ulama seperti beliau KARENA beliau tidak mau menduduki jabatan Qadli. Nah kalau sekarang hakim pun bisa dipenjarakan karena…..you know laaaah kasusnya biasanya apaan.
                Ini ada lagi yang menarik. Ketika dalam penjara, usia beliau mendekati 70 tahun. Seorang sipir penjara menyiksanya, ketika ditanyakan siapa namamu dan apa yang telah kau perbuat? Beliau diam saja. Hingga dicambuki dan rekan sipir itu berujar.
                “Dia adalah ulama.”
                Sang penghukum tadi terkejut, “Apa? Dia seorang ulama? Aku telah menyiksa seorang ulama? Celakalah aku….” Maka ia tersungkur penuh penyesalan dan menangis karena telah menyiksa seorang ulama.
                Saya takjub!
                Masa sekarang, kita melihat bersama. Ulama sholih Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diperlakukan dengan tidak hormat oleh para xxxxxxxxxx (isi sendiri deh, saya malas menyebutnya apaan). Diseret, disidang, di…….. ah nggak sopan banget sih! Jangankan menangis menyesal karena telah menyiksa seorang ulama, ini malah dengan pongah menuduhnya sebagai teroris? Sungguh heran saya, di mana akal sehatnya? Seharusnya kan Israel, AS, dan sekutunya itu yang layak disebut teroris?
                Keheranan itu bermuara pada satu konklusi. Bahwa pada masa Imam Abu Hanifah itu adalah ketika syariat Islam diterapkan, ya, dalam institusi Khilafah Islamiyah. Sedangkan sekarang, ketika para ulama dan mujahidin dicap teroris, itu adalah masa ketika syariat islam dicampakkan, lalu yang ditegakkan adalah system demokrasi, bukan KHilafah Islamiyah! Semoga mata hati kita tidak buta untuk melihat mana system yang baik dan mana system yang tidak baik. Sebab hari ini kita menyaksikan pemerintahan thogut telah angkuhnya menyatakan bahwa ada hukum lain yang lebih tinggi dari hukum Islam, yaitu pancasila, UUD 45, demokrasi! (lihat QS al-maidah:50) semoga hati kita terbuka.
                Kelapangan dada ulama , dan kebesaran jiwa Khalifah… hingga di akhir hayat beliau, sang Khalifah meminta maaf dengan penuh penyesalan karena telah memenjarakan beliau, khalifah bertanya “apa yang kau inginkan wahai Imam?”
                Beliau menjawab “aku hanya ingin kau memasukkanku ke dalam surga dan mengeluarkan aku dari neraka.”
                Khalifah tercengang, “itu hanya kuasa Allah.”
                “Tapi hanya itu yang kuinginkan.” Lalu beliau meninggal.

                Subhanallah….sungguh ilmu dan nasihat yang sangat berharga pagi ini, setelah melihat acara Khalifah dan pencerahan dari Ustadz Budi Ashari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁