Fatih (4th) suka
sekali mendengarkan kisah “jagoan dari negeri Syam”, ya beliau adalah Imam Abu
Hanifah. Menelusuri kisah beliau sangat mengagumkan, penuh inspirasi dan
memberikan kita semangat untuk menuntut ilmu.
Abu Hanifah an Nu’man lahir di
kota Kufah pada tahun 80 H. ayahnya adalah pedagang kain sutra yang sukses. Sejak
kecil beliau sering membantu ayahnya berdagang di pasar. Namun beliau juga
rajin mengaji dan menuntut ilmu. Pada usia 10 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an
seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
Beliau pun rajin belajar, tetapi
mulai jarang menghadiri majelis ilmu karena sibuk berdagang. Atas saran dari
seorang ulama, beliau pun kemudian menjadi rajin menuntut ilmu pada seorang
guru. Ilmu-ilmu dibentangkan di depan matanya, kemudian dipilihlah satu ilmu
yang menjadi spesialisasinya. Maka dipilihlah ilmu fikih.
Beliau menjadi guru, dengan
banyak murid. Beliau sangat memerhatikan murid-muridnya, biaya pendidikan pun
digratiskan. Sampai-sampai Abu Yusuf suatu hari ditanya oleh beliau kenapa
jarang menghadiri majelis ilmunya? Abu Yusuf mengaku karena sibuk mencari
penghidupan dan bakti pada orangtuanya. Apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah? Diberikannya
uang pada Abu Yusuf agar tak sibuk bekerja. Bahkan kalau uang itu habis, segera
kabari beliau. (sudah gratis biaya pendidikannya, diberikan tunjangan hidup
pula).
Namanya semakin harum sebagai
ulama yang adil dan mendalam ilmunya. Ketika beliau berada pada masa
kejayaannya, justru bani Umayyah berada pada masa keruntuhannya. Terjadilah pemberontakan
oleh gerakan-gerakan rahasia, beliau pun memilih untuk menyelamatkan ilmunya
dengan pindah ke Makkah. Di sana beliau berguru pada Imam Malik dan mendapatkan
banyak hadits yang masih terjaga keshohihannya.
4000 orang telah menjadi guru
beliau, tentu ilmunya sangat mendalam. Hingga beliau kembali lagi ke Kufah pada
masa kepemimpinan Khilafah Abbasiyah (yang saat itu Khalifahnya Abu Ja’far
al-Manshur), beliau diminta untuk menjadi Qadli. Qadli adalah jabatan tinggi
kala itu. Namun beliau menolak. Sebab beliau merasa tidak mampu untuk menghukumi
Khalifah dan para panglimanya. Bukan karena tidak ‘alim.
Hal ini, menurut saya sangat
jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Banyak orang berebut menjadi Hakim Agung
atau apalah istilahnya, padahal ilmu belum sedalam lautan, tapi ambisi begitu
besar untuk mendapatkan jabatan bergengsi. Imam Abu Hanifah tetap tidak mau
menduduki jabatan tersebut, sebaliknya Khalifah hanya mau kedudukan Qadli itu
disandang oleh ulama yang adil seperti Imam Abu Hanifah. Sampai sini saya
memandang bahwa keduanya tidak ada yang salah. Pun ketika Khalifah marah hingga
memenjarakan beliau. Masya Allah yah, Khalifah memenjarakan ulama seperti
beliau KARENA beliau tidak mau menduduki jabatan Qadli. Nah kalau sekarang
hakim pun bisa dipenjarakan karena…..you know laaaah kasusnya biasanya apaan.
Ini ada lagi yang menarik. Ketika
dalam penjara, usia beliau mendekati 70 tahun. Seorang sipir penjara
menyiksanya, ketika ditanyakan siapa namamu dan apa yang telah kau perbuat? Beliau
diam saja. Hingga dicambuki dan rekan sipir itu berujar.
“Dia adalah ulama.”
Sang penghukum tadi terkejut, “Apa?
Dia seorang ulama? Aku telah menyiksa seorang ulama? Celakalah aku….” Maka ia
tersungkur penuh penyesalan dan menangis karena telah menyiksa seorang ulama.
Saya takjub!
Masa sekarang, kita melihat
bersama. Ulama sholih Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diperlakukan dengan tidak
hormat oleh para xxxxxxxxxx (isi sendiri deh, saya malas menyebutnya apaan). Diseret,
disidang, di…….. ah nggak sopan banget sih! Jangankan menangis menyesal karena
telah menyiksa seorang ulama, ini malah dengan pongah menuduhnya sebagai
teroris? Sungguh heran saya, di mana akal sehatnya? Seharusnya kan Israel, AS,
dan sekutunya itu yang layak disebut teroris?
Keheranan itu bermuara pada satu
konklusi. Bahwa pada masa Imam Abu Hanifah itu adalah ketika syariat Islam
diterapkan, ya, dalam institusi Khilafah Islamiyah. Sedangkan sekarang, ketika
para ulama dan mujahidin dicap teroris, itu adalah masa ketika syariat islam
dicampakkan, lalu yang ditegakkan adalah system demokrasi, bukan KHilafah
Islamiyah! Semoga mata hati kita tidak buta untuk melihat mana system yang baik
dan mana system yang tidak baik. Sebab hari ini kita menyaksikan pemerintahan
thogut telah angkuhnya menyatakan bahwa ada hukum lain yang lebih tinggi dari
hukum Islam, yaitu pancasila, UUD 45, demokrasi! (lihat QS al-maidah:50) semoga
hati kita terbuka.
Kelapangan dada ulama , dan
kebesaran jiwa Khalifah… hingga di akhir hayat beliau, sang Khalifah meminta
maaf dengan penuh penyesalan karena telah memenjarakan beliau, khalifah
bertanya “apa yang kau inginkan wahai Imam?”
Beliau menjawab “aku hanya ingin
kau memasukkanku ke dalam surga dan mengeluarkan aku dari neraka.”
Khalifah tercengang, “itu hanya
kuasa Allah.”
“Tapi hanya itu yang kuinginkan.”
Lalu beliau meninggal.
Subhanallah….sungguh ilmu dan
nasihat yang sangat berharga pagi ini, setelah melihat acara Khalifah dan
pencerahan dari Ustadz Budi Ashari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁