Cari Blog Ini

Kamis, 25 Januari 2018

FLP Selalu di Hati



Andai saja hari itu aku tak bertemu dia, mungkin saat ini aku tak akan bersama kawan-kawan FLP. Aku mengikuti ekskul Rohis, dengan segala keterbatasan akan ilmu agama. Tiba-tiba seorang teteh alumni yang sering datang ke sekolah, bertanya

“Siapa yang hobi nulis?”

Teman-teman langsung menunjukku. “Yuni nih Teh.” Aku lalu membenarkan. Ya, bagiku menulis adalah hobi yang sudah sejak SD kutekuni.

Teman-teman sekelasku di SMP selalu menyemangati dengan cara membaca apa saja yang kutulis di buku bekas. Pokoknya nulis ajalah, tentang isinya aku belum begitu memikirkan. Tak memedulikan isi serta EYD, yang penting nulis!

“Nah, ikut FLP aja. Kebetulan lagi pembukaan nih. Hari Minggu di Ciceri.” Infonya. Aku menerima selembar pamplet, yang kusimpan dengan baik dengan harapan nanti aku akan datangi dan daftar kelas menulisnya.

Pada dasarnya aku ini anak desa yang tak pernah ke kota. Apalagi sendirian. Ciceri itu lumayan jauh, harus ditempuh menggunakan bus kecil dengan ongkos masih limaratus. Benar-benar ini pertama kalinya aku pergi jauh, padahal jarak dari rumah paling Cuma sepuluh kilo sih. Kan aku anak desa...

Merasa paling cupu di antara yang lain, rata-rata anak SMA favorit yang penampilannya saja keren. Terlebih lagi mereka itu aktivis di sekolahnya. Sedangkan aku mah anak Rohis ikut-ikutan, yang secara penampilan belum pantas disebut ‘akhwat’, tapi nggak lantas disebut ‘ikhwan’ laaaah.

Pembukaan Training Menulis ini bertepatan dengan bedah buku “Panggil Aku Bunga” karya Teh Najwa Fadia dan Kak Ibnu Adam Aviciena. Ini acara seru sekali, aku saja kebagian doorprizenya, sebuah buku –yang sekarang hilang entah dimana akibat dipinjam tapi lupa dikembalikan.

Sejak itu aku bergabung dengan Forum Lingkar Pena. Setiap akhir pekan pergi ke kota untuk mengikuti pelatihan menulis, dengan ongkos yang sengaja diawet-awet seminggu sebelumnya. Nggak jajan demi bisa nabung buat ongkos hari minggunya. Sejak pagi sampai Zuhur belajar di sebuah mushola, lalu siang sampai sore ke Rumah Dunia, ikut kelas menulis juga dengan pemateri Mas Gola Gong dan lainnya. FLP dan Rumah Dunia tidak bisa dipisahkan, sebab kebanyakan anak FLP itu dibina oleh Rumah Dunia. Contohnya Teh Najwa

Hari demi hari terlewati. Aku sangat menikmati kesibukanku dengan beragam kegiatan di FLP. Mengerjakan tugas di rental komputer, saat itu masih zaman disket. Sekalinya sudah musim Flashdisk, komputer tidak bisa menerima disket, itu aku sedih sekali. Apalagi dibilang oleh pemilik rentalnya, “Hari gini udah gak zaman disket! Pake flashdisk dong....” aku hanya bisa berdoa semoga kelak punya flashdisk.

Sebenarnya aku aktif di ekskul Paskibra juga. Bertepatan pula latihannya tiap hari Ahad. Aku sering kena tegur temanku yang sudah menjabat sebagai pengurus.

“Kamu ini sibuk terus, udah nggak aktif lagi latihan Paskibnya?” tanya Denardo.
Aku nyengir. Belum lama ini menerima lencana bunga teratai putih perlambang sudah jadi capas yang artinya tak lama lagi akan naik pangkat menjadi anggota Paskibra. Namun mau bagaimana lagi, tubuhku tidak bisa dibagi dua!

“Udahlah gini aja, kamu mau pilih Paskib atau FLP!?” tanyanya lagi.
“Nar, aku pengen dua-duanya, gimana?”
“Lah, kamunya aja nggak aktif terus! Gimana mau jadi anggota Paskibra kalau sering bolos latihan?”

Aku mengembuskan napas. Mungkin ini soal waktu saja untuk melepas salah satunya, dan aku tak perlu berpikir dua kali untuk memertahankan satu, dan melepas satunya lagi.

“Kalau gitu, aku mau keluar aja deh dari Paskib. Aku mau serius di FLP.”
“Yakin? Gak nyesel?”
“Nggak. Lagian meski aku latihan terus, karena badanku ini pendek mana bisa jadi Paskibraka. Jadi aku lepasin aja deh.”

Denardo tertawa, masih berusaha membujukku. Aku menggeleng. Aku tak perlu berpikir bahwa aku lebih suka menulis daripada latihan lari dan beragam latihan fisik lainnya.

“Okelah, keputusan ada di tangan kamu. Semoga kamu betah. Oya, balikin sini lencananya!”
“Lah, kenapa gak buat aku aja sih.”
“Balikin sini ah. Udah copot jabatan capas nya.”

Dengan berat hati, kuberikan lencana yang belum lama ini kuterima dan selalu kupakai setiap hari Senin itu. Maka sejak hari itu aku bisa bebas lepas tanpa beban karena meninggalkan latihan gabungan setiap pekannya. Tak lagi panas-panas lari keliling lapangan. Sekarang berjibaku dengan kertas dan pena. Eh, komputer juga sih. Rental tapi ya...

FLP itu unik. Organisasi kepenulisan, yang sebagian besar pengurusnya yang perempuan berhijab rapi. Kerudungnya panjang, bicaranya santun. Sungguh menyejukkan. Aku pun terinspirasi untuk berpakaian yang lebih rapi.

Mulai kupanjangkan kerudung, mulai sering pakai kaos kaki. Sebab, nilai plus dari FLP adalah dakwah bil qolam. Masa iya mau dakwahin orang lain, tapi kita sendiri belum berproses hijrah?

Kawan-kawan FLP pun semuanya baik dan menginspirasi. Inilah kali pertama diriku kenal dunia luar, dari yang semula hanya kenal rumah dan sekolah. Punya banyak teman yang satu minat. Belajar ilmu kepenulisan dari para ahli, dan ketemu banyak penulis terkenal. Rasanya energi positif itu selalu mengalir tiada henti.

Namun, aku telah lama vakum dari kegiatan FLP. Kesibukan rumah tangga yang cukup menyita waktu, bahkan vakum menulis juga. Namun, dasarnya sudah cinta jadi begitu ada kesempatan Munas 4 FLP di Bandung November lalu, mulailah ingin bangkit kembali.

Menghidupkan lagi FLP Banten dari tidur panjangnya.  Menghasilkan karya lagi yang menginspirasi. Agar lebih banyak orang yang tercerahkan dan akhirnya berminat gabung di forum yang luar biasa ini. Siapa tahu ada anak desa sepertiku yang hobi nulis tapi tidak tahu harus gabung ke mana. Semoga FLP bisa dikenal oleh semua orang.. baik di kota maupun di desa... {*}

*Yuni Astuti

Rabu, 03 Januari 2018

Hebatnya Orang Indonesia; Senyum Salam Sapa



Perjalanan kami berakhir di Palur Plasa. Kami harus berpisah di sini setelah setengah hari menikmati waktu bersama-sama. Friliyo harus pulang ke Ngawi, dan saya ke Karanganyar.

Jalan-jalan Seru di Surakarta

Siang ini janjian dengan adik imut saya dari Ngawi, Friliyo Latuconsino. Ketemuan di Taman Pancasila, lalu naik bus ke Tirtonadi.

Kemudian dilanjutkan naik angkutan online ke kantor penerbit Indiva Media Kreasi, disambut oleh hujan yang cukup deras. Kami berteduh sejenak, lalu jalan 100 m dari Gapura Kerten arah barat. Kami sengaja ingin bertemu Bu Ketua baru FLP, Mbak Afifah Afra. Sekadar silah ukhuwah dan disuguhi secangkir teh rasa lemon hangat.

Keramahan dan keteduhan wajahnya membuat saya merasa betah, apalagi sedang ada diskon 50% untuk novel. Aih sayang sekali gak bawa uang lebih, jadi gak bisa borong ๐Ÿ˜.

"Mampir ke rumah, nanti saya traktir makan malam." Kata Mbak Afra. Sayang sekali, saya gak bisa lama-lama ngobrol dengan beliau, sebab rumah saya jauh jadi takutnya kemalaman.

Dari sekian puluh menit perbincangan hangat itu, Mbak Afra berpesan, "Jangan terfokus untuk membuat event besar, target ratusan orang tapi melupakan esensi FLP itu sendiri. Yakni, belajar bersama. Kumpul saja, belajar bersama, tapi rutin. Ke depannya nanti bisa membuat acara apa saja."

Hujan belum juga reda. Kami berdua (saya dan Friliya) diantarkan oleh salah satu karyawannya ke halte bus Trans Solo yang tak jauh dari kantor. Terima kasih Mbak Afra. ๐Ÿ˜Š

Pulangnya naik bus Trans Solo, berhenti di Palur. Saya melanjutkan pulang ke Karanganyar, Friliyo kembali ke Ngawi.



Because This Is My First Life; MIRIS!


Selesai juga nonton drama yang sering bikin ketiduran saat menontonnya๐Ÿ˜. Gimana ya, romantis lucu dan gemesin banget.

Tersebutlah Nam Se-Hee (Lee Min Ki) seorang developer app yang sangat cuek dan hanya memikirkan cicilan rumah dan kucingnya. Bertemu dengan Yoon Ji-Ho (Jung So Min) seorang asisten penulis skenario yang gak punya rumah.

Awal nonton drama ini karena suka sama profesi tokohnya, penulis skenario. Dan lumayan bikin senyum-senyum sendiri sih, gemes sama Se-Hee yang ampun deh kuat banget sepanjang 15 episode cool gitu. Baru di episode 16 aja dia punya emosi. Hihi.


Ada 3 hal tidak baik yang tampak jelas dalam drama ini, yaitu:
1. Seks bebas itu udah biasa.
Karena itu di awal episode selalu muncul warning: tayangan ini sebaiknya ditonton untuk 15 tahun ke atas, karena kalau anak kecil nonton ini bisa-bisa ditelan bulat-bulat pesannya. Seks bebas yang dilakukan Soo Ji seakan sudah biasa, meski pada akhirnya dia memutuskan untuk menikah. Terbukti kan ya, seks bebas itu gak membahagiakan.

2. Kumpul Kebo udah biasa.
Ho-Rang dan Won Seok juga melakukan gaya hidup barat. Kumpul kebo itu kayak biasa banget. Apalagi ada perbedaan pemikiran soal pernikahan. Cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. 

3. Kawin kontrak.
Dulu pernah nonton Full House yang berkisah tentang kawin kontrak. Ini gara-gara Ji Ho pengen ngontrak rumah dengan harga hemat, dia kawin kontrak. Tapi Se Hee juga nyebelin, cuma biar ada yang ngurus kucingnya dan bantu bayar cicilan rumah, dia nikah. Woy istri tuh tulang rusuk, bukan tulang punggung. 


Ini tuh semacam realita sosial masyarakat Korea, yang anak mudanya tidak terlalu mementingkan pernikahan. Ribet, tradisi kolot, harus tanggung jawab soal anak dan ini itu lainnya. Maka gak heran kalau mereka ini malas menikah. Ngapain? Wong seks bebas aja bisa kok memenuhi kebutuhan biologis. Miris kan?

Tapi ambil baiknya aja, kalau saya sih terus terang jadi makin cinta sama suami ๐Ÿ˜ karena ya sebenarnya setiap rumah tangga mah ada aja ujiannya. Tapi toh kita harus bisa bertahan. Merasa punya suami cuek? Tenang... Bersyukur aja, yakin deh gak akan secuek dan sepelit Se Hee. Hihihihi......

Soto Solo; Murah dan Mengenyangkan



Hujan memaksa kami berteduh pagi itu, tepat di depan warung soto. Tak ada niat makan soto tadinya, tapi sepertinya enak juga hujan-hujan begini makan soto yang panas. Sip lah.

Kami masuk dan pesan dua porsi. Satu porsinya Rp. 6000. Waw murah sekali...
Begitu dihidangkan, dalam satu mangkok sudah ada nasinya ternyata. Sotonya bening, tak seperti di Banten, hehe.

Ibu mertua saya sering membuat soto untuk hidangan lebaran. Bahannya daging sapi atau ayam, dengan tambahan sayuran tauge, daun bawang dan seledri serta taburan bawang goreng. 

Bumbunya juga sederhana, hanya bawang putih, garam, daun jeruk dan serai. Alhamdulillah setelah kenyang sarapan soto, kami melanjutkan perjalanan...

Keesokan harinya diajak Bapak ke warung. Ini di luar prediksi, ternyata warungnya banyak berisi mbah-mbah alias aki-aki dan bapak-bapak yang sarapan sebelum pergi ke ladang. Fiuuhh.... Malu saya, emak-emak nyempil di warung mbah-mbah. Dan saya pesan soto lagi, dengan penampakan yang mirip dengan soto yang saya beli sebelumnya di tempat lain. 


Wedang Ronde



Kami baru saja selesai solat Ashar, mendadak hujan turun. Jadilah kami duduk lagi di teras masjid Agung Karanganyar.
Saat cuaca begitu dingin karena hujan, wedang ronde menjadi teman yang sangat nikmat. Air jahe dengan kacang tanah, irisan kolang-kaling dan biji salak terasa manis dan gurih. Harganya murah, cuma Rp. 5000.

Wedang ronde ini menurut sejarahnya berasal dari tradisi Chinese yang menjadikan wedang ronde sebagai persembahan di upacara peribadahan mereka.