Cantik part 2
Tiga tahun yang lalu, Ar datang ke kota hujan, menelusuri garis nasibnya sendiri. Dan itu dimulai sejak dia diterima menjadi jurnalis sebuah surat kabar di kota itu. Dia sendirian, belum punya kenalan. Belum ada teman.
Iqbal yang sudah satu tahun bekerja di kantor barunya, banyak membantu Ar.
“Kalau kamu belum tahu harus kemana, aku akan bantu carikan kosan. Atau, kamu sementara bisa tinggal di kosanku.” Tawar Iqbal.
Ar langsung kaget, “Ah, ti...tidak usah Mas. Saya bisa tinggal sendiri.”
“Hahaha.... Tenang aja, saya orang baik kok. Saya nggak akan macem-macem.” Iqbal tersenyum ramah.
“Jangan percaya sama dia Mbak. Korbannya banyak!” bisik Tasya, sesama karyawan.
“Iya termasuk kamu!” balas Iqbal. Wajah Ar yang tegang mulai mengendur karena Tasya tertawa. Iqbal kelihatannya orang baik, tapi tetap saja akan terasa aneh baginya jika harus tinggal bersama lelaki lain di kosannya. Apa kata orang nanti?
“Saya tahu kosan yang bagus dekat sini. Yuk saya anterin.” Lagi-lagi Iqbal menawarkan bantuan. Yah, apa salahnya menerima kebaikannya, Ar pun mengangguk. Toh ia masih sama sekali belum tahu mau kemana. Baru datang pagi tadi dia langsung mencari kantornya untuk interview dan langsung diterima.
Sepanjang jalan Ar diam saja, canggung untuk memulai pembicaraan. Sementara Iqbal juga tampaknya sedang sibuk dengan gadgetnya.
Mata Ar menyapu jalan, menghafal tempat-tempat yang kelak akan ia jelajahi.
“Udah mau sampai tuh.” Kata Iqbal. Di depan mereka tampak bangunan kos-kosan berdinding biru cerah.
“Kosan saya nggak jauh dari sini.”
Ar diperkenalkan dengan ibu pemilik kosan, kebetulan ada kamar kosong. Ar menempati satu kamar di ujung lantai atas. Iqbal membantu membawakan barang dan merapikan kamar yang sedikit berantakan.
“Makasih ya Mas, sudah repot bantuin saya.” Kata Ar.
“Ahhh bukan masalah. Sesama perantau harus saling membantu.” Jawabnya diplomatis.
“Oya, Mas dari mana?”
“Jogja.”
“Tetanggaan sama saya Mas. Saya Solo.”
“Iya. Eh jangan panggil Mas dong. Kesannya tua amat. Panggil Iqbal aja.”
Ar tersenyum. “Iya, Mm....Iqbal.”
Iqbal pamit. Sore itu Ar rapi-rapi sendiri, tinggal menata kasur dan membereskan pakaiannya. Dia merasa punya teman, jadi dia tak akan kesepian.
*
Bekerja satu tim dengan Iqbal, membuat Ar jadi tidak kesulitan. Iqbal banyak membantunya, mengajarinya banyak hal baru. Iqbal memang mudah akrab dengan siapa saja. Karyawan yang perempuan sering menggodanya, menjulukinya playboy. Kenyataannya, Iqbal masih jomblo.
Ketika mereka mencari berita dalam kota, kebersamaan semakin membuat mereka akrab. Hingga waktu terus berlalu. Membersamai mereka. Semakin dekat. Meski kedekatan itu tanpa status. Ar hanya tahu bahwa mereka tak lebih dari teman.
Suatu siang di kantor, Ar tiba-tiba terlihat lelah. Sangat lelah. Ia terkulai lemas di sofa, bahkan menggerakkan jemarinya saja sulit. Iqbal mendekat.
“Kamu kenapa Ar?”
Ar juga sulit untuk menjawab. Terlalu lelah. Padahal dia tidak melakukan pekerjaan yang menguras tenaga.
Refleks Iqbal menyentuh dahi Ar. “Ar kamu sakit! Ayo kita ke rumah sakit!” ia berusaha menuntun Ar. Namun, Ar seketika itu pingsan. Iqbal semakin panik. Dipanggilnya semua orang untuk membantunya memapah Ar ke mobil kantor.
Bersambung
#ODOPfor99Days
#Day2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁