Cari Blog Ini

Selasa, 31 Januari 2017

Agar Kita Tidak Tersesat

Siang ini kami berempat jalan keluar... Kalau lagi jalan kemana gitu, suka lihat gang-gang yang belum pernah dilewati trus ngomong
“ini tembusnya kemana ya?”
Seringnya sih dicoba. Ditelusuri untuk kemudian, oooohhh ternyata nyambungnya ke sini...
Kayak tadi, habis dari Bank di Cibeber, masuk ke gang Desa. Suami mengira, ini tembusnya ke perumahan PCI.
Oke dicoba.
Lurus teruuuusssss.........
“ini kita nyoba jalan pintas A.” Kata suami ke Aa.
Jalan terusss sambil ngobrol... N
Ternyataaaa...
Wakwawww!!!
Pemakaman umum. Dan Aa pun komentar “Ini sih bukan jalan pintas. Ini jalan buntu!”
Hahaha...
“Makanya, biar kita gak tersesat, kita harus tahu ilmunya. Kalau gak pake ilmu, kayak ginilah. Nyasar!” kata saya.
“Seperti Aa juga supaya hidup kita gak tersesat, kita harus punya ilmu. Caranya dengan belajar.”
Lalu kami pun melanjutkan perjalanan dengan menempuh jalan yang benar dan diakui semua orang.

#hari7
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiipbccg

Minggu, 29 Januari 2017

Memilih Sekolah untuk Aa

Memilih sekolah yang bagus untuk Aa sudah lama kami bicarakan. Sebagai orangtua, tentu ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan visi misinya sama dengan kita. Ada tiga alternatif, yakni pesantren, SDIT dan SD Negeri. 
Sebenarnya sudah lama kami ingin Aa masuk pesantren sejak SD. Target kami Ponpes Tahfidz Yanbu’ul Quran Kudus. Info pun sudah dicari, tanya Ustadznya. Bahkan sudah download banyak video tentang Ponpes tersebut. Aa juga sudah sejak jauh hari, bertahun-tahun yang lalu dijelaskan bahwa dia akan masuk pondok. Dia mau saja.

Namun, kami pikir lagi, kejauhan. Aa masih 7 tahun, masih sangat butuh kasih sayang orangtuanya. Terutama ibunya. Ditambah lagi, proses masuknya saja ada dua tahapan seleksi yang pada tahap kedua mengharuskan anak dikarantina selama sebulan. Itupun belum tentu keterima. Pondok ini memang jadi primadona, nggak boleh ada santri pindahan. Jadi meminimalisir kontaminasi pengaruh buruk yang biasanya dibawa oleh santri pindahan.

Ok, deal, alternatif pertama gagal. Pilihan kedua, SDIT. Untuk saya, biaya masuk SDIT sangat mahal. Apalagi kalau yang sudah punya nama besar. Sulit dijangkau oleh dompet saya. Hehe. Selain itu, pertimbangan jarak, jemputan, uang bulanan dan uang saku juga kami bicarakan. Setiap kami bahas tentang ini, Aa kami libatkan. 
“Aa maunya sekolah di mana?”
“Maunya sama Si X, Y, Z.”

Kami pun paham. Berarti dia mau ‘di sana’. Sempat juga saya ingin memasukkan Aa ke SD Negeri, tapi sangat khawatir dengan pergaulan zaman sekarang yang sulit dikonrol. Sedangkan anak itu dididik oleh lingkungannya juga, bukan hanya orangtuanya. 

Telah banyak waktu kami habiskan untuk diskusi soal ini. Seringkali terhenti karena belum sepakat terutama masalah biayanya bagaimana. Dan seterusnya. 

Agaknya malam ini diskusi santai sebelum tidur sudah menemukan kata sepakat. Ya, insya Allah ini jalan yang terbaik. Semoga SDIT itu masih menerima pendaftaran. Karena kabarnya, most wanted.
Alhamdulillah, wasyukurillah atas semua nikmat ini. 


#hari6
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiipbccg

Sabtu, 28 Januari 2017

Jalan-jalanlah....


Keluarga kami senang jalan-jalan, nggak harus jauh dan mahal sih. Yang deket-deket aja yang penting happy. Tempat yang sering dikunjungi itu perpustakaan daerah, pasar, pelabuhan Karangantu, Banten Lama, dan apa saja asalkan bukan mal. Hehe...

Kebetulan hari ini Imlek, jadi kami lihat sebentar ke vihara yang ramai orang Tionghoa berkumpul di sini. Berdekatan dengan vihara, ada benteng Spelwijck. Saat lewat benteng itu, Aa bertanya.
"Ini apa Mu?"
Maka jadilah sambil jalan-jalan, sambil bercerita sejarah.
Lanjuuut... Ke Karangantu. Airnya sedang surut. Jadi sebagian tanah bakau ini tampak, eh ada yuyu. Di sinilah Aa tanya, itu apa Mu?
Oh itu kepiting. Tapi aku juga ragu, itu kepiting atau yuyu atau rajungan ya?
Saya sulit membedakannya. 
"Nanti ya A, kita belajar lagi. Umu kurang tahu apa bedanya mereka".

Kalau sedang jalan-jalan, kita menghirup udara segar. Jadi nggak sumpek di rumah terus. Kalau Aa betah main seharian, beda dengan Kakak, dia ngajaknya pulang terus...

#hari5
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiipbccg

Jumat, 27 Januari 2017

Anak Bahagia Karena Ibunya Bahagia



Kapan seorang anak merasa bahagia? Saat diajak jalan-jalan ke tempat rekreasi?
Saat dibelikan mainan baru? Saat dibelikan jajan? Ya, benar. Namun ada yang lebih membahagiakan dari semua itu. Yakni ketika ibunya juga bahagia.

Ibu yang bahagia, energinya akan positif. Bicara ke anak pelan dan lemah lembut. Sebaliknya ibu yang sedang kalut, stress, kadang sikap ke anak juga nggak jelas.

Ini sulungku yang pengertian banget sama ummunya. Sore ini sepulang dari TPA, berdua kami ke apotek beli obat untuk adiknya. Deket dari rumah.

Adalah kebiasaan dia, kalau jalan kaki suka memerhatikan sekitar. Lihat sungai, rumput liar, entah itu putri malu atau "pletekan" yang bisa meledak di air, dan kadang sambil foto juga.

Saya merasakan sekali, kalau saya bersikap manis padanya, dia juga balas dengan yang lebih manis. Suka tiba-tiba memeluk dan mencium, dan suka kasih bunga (walaupun yaaa rumput liar). Dia itu sensitif, jadi bicara dengan dia harus hati-hati sekali jangan sampai tersinggung.

Dia sering mengingatkanku agar jangan marah, nanti masuk neraka lho! Sebab di buku yang pernah saya ceritakan, ada tentang "jangan marah, maka bagimu surga". Semoga ya Nak, ummu bisa terus belajar memperbaiki diri. 


#hari4
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiipbccg

Kamis, 26 Januari 2017

Aa Baik Kan, Mu?

Anak-anak, pada dasarnya suka membantu pekerjaan orang tuanya. Sedari kecil, sebenarnya mereka bisa dikondisikan untuk mandiri. 

Seperti baru saja yang dilakukan si sulung. Dia menyetrika bajunya sendiri. Kalau mengikuti naluri khawatir saya, tentu akan saya larang.
“Nanti kena tangan.”
“Nanti nggak rapi.”
Dan sebagainya. Namun saya biarkan dia melakukan itu. Toh kalau nggak rapi, bisa disetrika ulang. Dan kalau kena tangan, bisa diobatin.
Jadi, saya katakan “hati-hati. Caranya begini.”
Dia mengangguk. Dan azan Isya berkumandang, saya ajak dia salat. Katanya, “Sebentar lagi ini satu lagi. Aa kan mau bantuin Ummu...”
Begitu selesai, dia bertanya. “Mu, Aa baik kan?”
“Iya... Aa baik... Makasih yaaa....” dan dia mengecup pipiku. Ah Nak, rupanya kamu juga ingin dipuji sebagai wujud apresiasi bahwa kamu anak baik. Lantas kami salat dan menemani dia tidur. Setelah itu kulanjutkan setrikaan. Merapikan yang belum rapi. Alhamdulillah... Semoga saya bisa sabar menghadapi anak-anak....


#hari3
#Tantangan10hari
#KomunikasiProduktif
#KuliahBunSayIIP

Rabu, 25 Januari 2017

Jangan Salah Niat



Suatu hari saya posting foto bertuliskan “Jadilah Pejuang Shubuh” lalu mulai ada yang komentar, di antaranya kakak dan adik ipar. Adik ipar merasa, belum bisa konsisten menjalankan solat Shubuh berjamaah di masjid.

Malam tadi, adik ipar chat dengan suami, mengaku bahwa kemarin Shubuh sudah bisa berjamaah di masjid.


Lalu suami membalas, “Iya bagus, biar dapat istri sholehah”

Saya yang sudah biasa membaca semua riwayat chat suami, begitupun sebaliknya, ikut berkomentar.
“Lho, Bah, kok gini bilangnya? Jangan niatin biar dapet istri sholehah dong. Niatin karena Allah...”
“Yaaa kan biar dia termotivasi.” Jawab suami.
“Tapi Motivasinya harus karena Allah...” saya tetap pada pendapat awal.
“Iya. Abah salah tuh.”
Begitulah. 

#hari2

#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Selasa, 24 Januari 2017

Belajar dari Semut



Aku dan si sulung (6y8m) sering mendiskusikan sesuatu. Seperti malam ini, kulihat semut di dinding sedang berbaris.
Me: Lihat deh A, semut-semut itu. Mereka lagi cari makanan..
Aa: Di mana sarangnya?
Me: Sepertinya di balik tembok ini. Semut itu rajin ya, bekerja keras. Eh lihat deh A, semutnya lagi pada ngapain? Coba perhatiin.

Aa: (diam sejenak) Lagi.... Salaman! Iya Mu, semutnya salam-salaman.

Me: Iya... Nah bagus itu. Semut nggak suka bertengkar. Kita harus tiru tuh. Oiya, Aa bisa dengar suara semut nggak?
Aa: Nggaklah. Yang bisa denger suara semut mah Nabi Sulaiman...
Me: Apa yang diomongin semut?
Aa: Lupa..
Me: Semut bilang, ‘ayooo teman-teman masuk ke sarang. Pasukan Nabi Sulaiman lewat. Nanti kita terinjak'
Aa: Iya, iya begitu bilangnya.
Me: Trus kata Nabi Sulaiman, ‘Hahaha... Tenang aja semut, kami tidak akan menginjak kalian. Masuklah ke sarang dengan tenang.’

Seringkali, di waktu lampau apa yang pernah diceritakan kepadanya ternyata masih diingatnya. Sholih ya Nak....

#hari1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kelasbunsayiip

Senin, 09 Januari 2017

Cantik, Ya Cantik! Part 2

Cantik part 2

Tiga tahun yang lalu, Ar datang ke kota hujan, menelusuri garis nasibnya sendiri. Dan itu dimulai sejak dia diterima menjadi jurnalis sebuah surat kabar di kota itu. Dia sendirian, belum punya kenalan. Belum ada teman. 
Iqbal yang sudah satu tahun bekerja di kantor barunya, banyak membantu Ar. 
“Kalau kamu belum tahu harus kemana, aku akan bantu carikan kosan. Atau, kamu sementara bisa tinggal di kosanku.” Tawar Iqbal.
Ar langsung kaget, “Ah, ti...tidak usah Mas. Saya bisa tinggal sendiri.”
“Hahaha.... Tenang aja, saya orang baik kok. Saya nggak akan macem-macem.” Iqbal tersenyum ramah.
“Jangan percaya sama dia Mbak. Korbannya banyak!” bisik Tasya, sesama karyawan.
“Iya termasuk kamu!” balas Iqbal. Wajah Ar yang tegang mulai mengendur karena Tasya tertawa. Iqbal kelihatannya orang baik, tapi tetap saja akan terasa aneh baginya jika harus tinggal bersama lelaki lain di kosannya. Apa kata orang nanti?
“Saya tahu kosan yang bagus dekat sini. Yuk saya anterin.” Lagi-lagi Iqbal menawarkan bantuan. Yah, apa salahnya menerima kebaikannya, Ar pun mengangguk. Toh ia masih sama sekali belum tahu mau kemana. Baru datang pagi tadi dia langsung mencari kantornya untuk interview dan langsung diterima.
Sepanjang jalan Ar diam saja, canggung untuk memulai pembicaraan. Sementara Iqbal juga tampaknya sedang sibuk dengan gadgetnya.
Mata Ar menyapu jalan, menghafal tempat-tempat yang kelak akan ia jelajahi. 
“Udah mau sampai tuh.” Kata Iqbal. Di depan mereka tampak bangunan kos-kosan berdinding biru cerah.
“Kosan saya nggak jauh dari sini.” 
Ar diperkenalkan dengan ibu pemilik kosan, kebetulan ada kamar kosong. Ar menempati satu kamar di ujung lantai atas. Iqbal membantu membawakan barang dan merapikan kamar yang sedikit berantakan.
“Makasih ya Mas, sudah repot bantuin saya.” Kata Ar.
“Ahhh bukan masalah. Sesama perantau harus saling membantu.” Jawabnya diplomatis.
“Oya, Mas dari mana?”
“Jogja.”
“Tetanggaan sama saya Mas. Saya Solo.”
“Iya. Eh jangan panggil Mas dong. Kesannya tua amat. Panggil Iqbal aja.”
Ar tersenyum. “Iya, Mm....Iqbal.”
Iqbal pamit. Sore itu Ar rapi-rapi sendiri, tinggal menata kasur dan membereskan pakaiannya. Dia merasa punya teman, jadi dia tak akan kesepian.
*
Bekerja satu tim dengan Iqbal, membuat Ar jadi tidak kesulitan. Iqbal banyak membantunya, mengajarinya banyak hal baru. Iqbal memang mudah akrab dengan siapa saja. Karyawan yang perempuan sering menggodanya, menjulukinya playboy. Kenyataannya, Iqbal masih jomblo.
Ketika mereka mencari berita dalam kota, kebersamaan semakin membuat mereka akrab. Hingga waktu terus berlalu. Membersamai mereka. Semakin dekat. Meski kedekatan itu tanpa status. Ar hanya tahu bahwa mereka tak lebih dari teman. 
Suatu siang di kantor, Ar tiba-tiba terlihat lelah. Sangat lelah. Ia terkulai lemas di sofa, bahkan menggerakkan jemarinya saja sulit. Iqbal mendekat.
“Kamu kenapa Ar?”
Ar juga sulit untuk menjawab. Terlalu lelah. Padahal dia tidak melakukan pekerjaan yang menguras tenaga.
Refleks Iqbal menyentuh dahi Ar. “Ar kamu sakit! Ayo kita ke rumah sakit!” ia berusaha menuntun Ar. Namun, Ar seketika itu pingsan. Iqbal semakin panik. Dipanggilnya semua orang untuk membantunya memapah Ar ke mobil kantor.

Bersambung
#ODOPfor99Days
#Day2

Jumat, 06 Januari 2017

Cantik, Ya Cantik!

“Kau tahu? Dia sangat cantik…” katanya dengan antusias.
 “Cantik?”
“Ya.”
“Secantik apa dia?”
Matanya menerawang, jauh…. “secantik….bintang!” namun segera ia meralat ucapannya. “Tidak! bukan bintang, sebab bintang hanya tampak pada malam hari.”
“lalu?” kejar wanita yang memainkan penanya di atas meja kerja, sementara kawannya, lelaki yang bercerita tentang wanita cantik itu terus menerawang.
“Aku melihatnya di depan gedung DPRD! saat ia berjalan membawa spanduk aksi… uhhh luar biasa! Aku mengabadikannya di kamera, kamu mau lihat? Ah! Mengapa???!” ia menggeleng lemah ketika wanita itu menhawab tidak.
“Dia sangat…..cantik!”

Wanita yang mukanya sudah merah itu tiba-tiba beranjak dari kursinya. Menuju meja resepsionis untuk ngobrol dengan Mbak Sofia.
lelaki yang semangat bercerita itu hanya menatap wanita itu, Arnalia dengan heran. Tak biasanya dia begitu murung…

Lelaki yang memakai jaket hitam itu mengejar Arnalia ke meja resepsionis, “Ar, kamu kenapa? cemburu ya mendengar ceriataku?”
“Apa? cemburu? maaf, aku tak ada waktu untuk bermain dengan perasaan anak ingusan macam itu.” katanya, tanpa ekspresi.
“Benar?” sang lelaki meyakinkan. 
“Aku bisa menebak isi hati wanita, lho Ar.”
“Oya? aku tak tertarik. Maaf ya! Aku harus ketik berita. Deadline jam 4!” ujar Arnalia sambil menunjuk jam tangannya, menuju meja kerjanya.
Sang lelaki menatapnya dalam-dalam.
***
Seminggu kemudian….
Sang lelaki sedang membaca koran harian di sofa depan resepsionis, saat seorang wanita memasuki kantor redaksi koran tempatnya bekerja. Wanita itu yang dilihatnya seminggu yang lalu, saat ia sedang meliput unjuk rasa mahasiswa di DPRD. Wanita itu, adalah yang tercantik dalam pandangan Iqbal.
Ia segera menghampiri wanita yang mengenakan kerudung hitam dan bergamis pink polos. Ia menanyakan honor menulisnya.
“Oh, Mbak menulis di kolom pembaca ya?” tanya Iqbal.
Wanita itu tersenyum.
Setelah ia menyelesaikan urusannya, ia pamit pulang. Segera Iqbal menanyakan siapa namanya, dan di mana alamatnya. Tahulah ia bahwa wanita cantik tadi bernama Ayudya. 

Alamat rumah dan nomor HP-nya pun kini dalam genggamannya. Arnalia melihat kejadian itu, hanya bisa mendesah panjang. Lelah.
Iqbal menangkap sekilas bayangan Arnalia mengintipnya dari balik dinding. Ia tersenyum sendiri.
***
Hampir dua minggu identitas tentang si cantik mengendap dalam dompet Iqbal. Tak tersentuh, tak terjamah. Ia seakan lupa pada pesona wanita itu. Sibuk dengan urusannya sendiri. 

Mencari berita, mewawancarai narasumber, dan menuliskannya hingga menjadi makanan sehari-hari tiap pagi penduduk kota.
Sejenak ia ingin menghubunginya, sekadar kirim SMS atau telepon untuk menyambungkan tali cinta, barangkali saja ada kesempatan. Namun waktu untuk melakukan itu rasanya tak ada. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

“Bal, aku mau pergi!” kata Ar pagi itu, sambil membereskan barang-barangnya.
Iqbal langsung berjingkat, “Ke mana?”

“Simbokku di kampung nyuruh aku pulang. Kasihan, beliau sudah sepuh.”

Iqbal duduk kembali, “Kapan pulang ke sini lagi?”
Ar menggeleng. “Tidak!”
“Maksud kamu…. selamanya menetap di sana???” pekik Iqbal kaget.

Ar tak bereaksi, ia meneruskan saja pekerjaannya. Hingga semuanya beres, ia pun siap untuk berangkat.
“Secepat ini?? Tak ada kabar sebelum ini Ar!” ujar Iqbal.
Ar melangkah ke pintu, “Jaga dirimu!”

“Ar!” Iqbal mengejar, namun Ar menghilang di balik pintu. Bersamaan dengan itu, air matanya diterbangkan angin. Ar berusaha menghilangkan segala perasaan yang bercampur aduk di hatinya. Ia sebenarnya ingin menetap lebih lama di kota hujan ini, menjadi jurnalis seperti yang sejak dulu diidam-idamkannya. 

Namun sejak dokter memvonisnya dengan penyakit kanker otak, ia seakan hendak kehilangan hidupnya. Ibunya di kampung berkali-kali memintanya pulang, namun Ar terlalu asyik dengan kehidupannya.
“Ar! Kasih aku kabar, Ar!” teriak Iqbal saat Ar sudah naik angkot menuju Baranangsiang. Ar tak menjawab, dan itu tak butuh jawaban.
“Kau tahuuuu… dia sangat cantik….” kata-kata itu terngiang dalam gendang telinga Ar. 

Hatinya gundah. Sebab ketika Iqbal mendakwa wanita itu cantik, bahkan sangat cantik, Ar merasa inferior. Ia merasa tak ada apa-apanya dengan wanita manapun di dunia ini sebab ia lagi-lagi merasa, ajalnya sudah demikian dekat.
“Iqbal, dia memang cantik…sangat cantik….” serta merta airmatanya menetes satu-satu. Ia tertawa lirih, bahkan ia tak mengajukan surat pengunduran diri pada Pemred. Ia merasa gila.

#ODOPfor99Days
#Day1


Bersambung....