Cari Blog Ini

Jumat, 28 Desember 2018

Peran Pertama dan Utama dalam Mendidik Anak

*Peran Utama dan Pertama dalam Mendidik Anak*

Mendidik anak adalah tugas utama orang tua. Guru juga berperan dalam mendidik tetapi tetap orang tualah yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas anak-anaknya.

Bukan karena orang tua sudah membayar biaya sekolah lantas menuntut sekolah menjadikan anaknya baik, sholeh sholehah dan segala macam prestasi. Sekolah hanya membantu orang tua dalam menyampaikan ilmu, mendidik anak-anak didik dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya.

Bagaimana mungkin orang tua berharap anaknya ekspress jadi pintar, sholeh sholehah dalam waktu 3 tahun SMP atau SMA, sementara bersama mereka sudah belasan tahun dilalui. Entah dengan didikan seperti apa di rumahnya?
Kemanjaan yang berlebihan? Kekerasan yang menyakitkan? Bully-an yang tak beradab? Hanya orang tua yang bisa menjawabnya.

Wabil khusus jika anaknya dipesantrenkan. Entah kenapa ada anggapan umum bahwa jika masuk pesantren anak akan jadi: sholeh, mandiri, qonaah, hafal Qur'an dan hadits. Sedangkan di rumahnya sendiri tidak dididik supaya mandiri, qonaah dan terbiasa menghafal Qur'an bersama-sama?
Faktanya?

Anak yang terbiasa dimanja akan menjadi anak yang ingin segala sesuatunya dituruti oleh pengasuhnya di pesantren. Cenderung tidak taat aturan. Sekarep dewek.

Anak yang terbiasa dididik dengan kekerasan akan menjadi anak yang keras kepala, keras hati dan tak segan menyakiti temannya baik verbal maupun lisan. Lebih menyedihkan lagi jika hatinya sudah membatu, sulit menerima nasihat.

Anak yang terbiasa dididik dengan permisif, cenderung merasa terkekang selama di pesantren. Jam pelajaran dianggap membatasi kesenangannya. Sehingga ketika pulang ke rumah saat libur, mereka memuaskan kesenangannya entah dengan gadget, tontonan yang tidak baik, lupa semua yang sudah diajarkan di pesantren.

Ada juga anak yang di depan guru tampak baik, sedangkan di depan orang tuanya menceritakan keburukan guru. Dalam kasus ini, tentu tergantung dari sikap orang tuanya. Kalau saya dulu, mana berani menjelekkan guru atau mengadu pada orang tua. Yang ada malah saya diomeli balik.

Adab murid kepada guru, tergantung pada adab orang tua terhadap guru anaknya. Ingat kasus murid memukul gurunya sampai tewas? Atau orang tua yang melaporkan guru ke polisi? Subhanllah.....  Guru bukan pegawai yang dibayar saja. Guru berkewajiban mendidik murid atas dasar rasa sayang...

Salah besar jika orang tua heran "kok anak saya malas ibadah? Di sekolah gak diajarin?"
Bukan gak diajarin, tapi anak itu merasa ajaran ibadah itu sebagai kekangan atas kesenangannya atau kesadaran dan kebiasaan sejak di rumah?

Orang tua dan guru harus sinergis dalam mendidik anak. Artinya, kalau di sekolah sudah disiplin, di rumah pun harus. Jangan serba boleh melakukan apapun. Ujung-ujungnya nanti menyalahkan sekolah kalau anaknya tidak baik...

Kesimpulan:
Sekolah bukan tempat "cuci piring". Ingin anak jadi baik, maka itu dimulai sejak di rumah. Bahkan sejak anak masih di dalam kandungan. Atau jauh sebelum itu, sejak Ayah dan Bunda belum menikah. Mendidik diri sendiri lebih dulu.(yuni)

Jumat, 07 Desember 2018

Maaf Bang, Aku Tak Pandai Menawar



Sore itu anggaplah saya sedang ngidam buah juwet/jamblang. Kami pergi ke pasar dan mencari buah langka tersebut. Hanya ada satu kios yang menjual juwet, itu pun kecil-kecil. Harganya masih mahal. Rp.23.000/kg. Namanya sudah kepingin banget, langsung saya beli setelah mencoba nawar Rp.20.000 tapi nggak dikasih.

Suami sempet nyari ke kios lain, tapi saya pikir "Ah ribet. Mesti keliling pasar lagi. Belum tentu nanti dapat. Kan sebenarnya buah juwet itu musiman, lebih sering gak adanya. Nggak kayak buah tomat yang ada di mana-mana di pasar.

"Bener nih Bu nggak dapat Rp. 20.000?" Tanyaku.

"Iya Neng, ini buah langka. Gak dapet 20 mah." Jawab pedagang yang berlogat Sunda itu.

Baca juga tulisan Niya Blogger Banten

Aku menyerah, dan membeli saja 1 kg. Sekalian sama kolang-kaling 1/2 kg seharga Rp. 10.000. Sudah itu kami pulang. Pedagangnya bilang begini sebelum kami pergi, "makasih ya Neng.. semoga berkah hidup Neng..." Betapa gembiranya daku Bang....

Sambil di jalan, kami ngobrol tentang juwet tadi. Tampaknya suami belum ikhlas karena belanjaanku itu sama sekali gak ada hasil nawar.

"Bang, kita kalo ke supermarket ada gitu nawar ke kasir? Nggak kan? Biarin ajalah, seribu duaribu yang kita berhasil tawar apa manfaatnya buat kita? Tapi bagi pedagang itu sangat berharga. Denger gak tadi, pedagangnya ngedoain keberkahan buat kita. Udahlah jangan nawar pedagang kecil... Biar berkah hidup kita."

"Iya juga ya. Betul itu Neng." Ungkapnya.

Dalam beberapa kesempatan belanja di pasar, kadang suami menegur "Kok nggak ditawar sih?"

Aku pun nyengir saja, bukannya mau pamer putihnya gigiku tapi memang kelemahanku adalah tak pandai menawar apalagi ke pedagang kecil. Ya kalau pedagangnya "mudah" ditawar ya nggak apa-apa. Tetapi kalau dia nggak ridho, kita sebagai pembeli jangan maksa. Berjual-beli itu harus sama-sama ridho... Jangan sampai ada yang terzalimi.

Maaf Bang, Aku Tak Pandai Menawar




Ket.foto: dari google

Sore itu anggaplah saya sedang ngidam buah juwet/jamblang. Kami pergi ke pasar dan mencari buah langka tersebut. Hanya ada satu kios yang menjual juwet, itu pun kecil-kecil. Harganya masih mahal. Rp.23.000/kg. Namanya sudah kepingin banget, langsung saya beli setelah mencoba nawar Rp.20.000 tapi nggak dikasih.

Suami sempet nyari ke kios lain, tapi saya pikir "Ah ribet. Mesti keliling pasar lagi. Belum tentu nanti dapat. Kan sebenarnya buah juwet itu musiman, lebih sering gak adanya. Nggak kayak buah tomat yang ada di mana-mana di pasar.

"Bener nih Bu nggak dapat Rp. 20.000?" Tanyaku.

"Iya Neng, ini buah langka. Gak dapet 20 mah." Jawab pedagang yang berlogat Sunda itu.

Baca juga tulisan Niya Blogger Banten: Suami dan Hobi

Aku menyerah, dan membeli saja 1 kg. Sekalian sama kolang-kaling 1/2 kg seharga Rp. 10.000. Sudah itu kami pulang. Pedagangnya bilang begini sebelum kami pergi, "makasih ya Neng.. semoga berkah hidup Neng..." Betapa gembiranya daku Bang....

Sambil di jalan, kami ngobrol tentang juwet tadi. Tampaknya suami belum ikhlas karena belanjaanku itu sama sekali gak ada hasil nawar.

"Bang, kita kalo ke supermarket ada gitu nawar ke kasir? Nggak kan? Biarin ajalah, seribu duaribu yang kita berhasil tawar apa manfaatnya buat kita? Tapi bagi pedagang itu sangat berharga. Denger gak tadi, pedagangnya ngedoain keberkahan buat kita. Udahlah jangan nawar pedagang kecil... Biar berkah hidup kita."

"Iya juga ya. Betul itu Neng." Ungkapnya.

Dalam beberapa kesempatan belanja di pasar, kadang suami menegur "Kok nggak ditawar sih?"

Aku pun nyengir saja, bukannya mau pamer putihnya gigiku tapi memang kelemahanku adalah tak pandai menawar apalagi ke pedagang kecil. Ya kalau pedagangnya "mudah" ditawar ya nggak apa-apa. Tetapi kalau dia nggak ridho, kita sebagai pembeli jangan maksa. Berjual-beli itu harus sama-sama ridho... Jangan sampai ada yang terzalimi.

Postingan ini untuk memenuhi tugas kedua Menulis60hariBloggerBanten

Sabtu, 01 Desember 2018

Titip Anak Saya ya....

"Titip anak saya ya Umm..." Kata beberapa wali santriwati​ sebelum mereka pulang dengan meninggalkan putrinya di pesantren.

Aura keharuan memancar, betapa sedih dan mengharukannya momen ini. Saat orang tua, terutama ibu harus 'berpisah' untuk sementara demi anaknya bisa belajar jauh dari rumah.

Meninggalkan anak di pesantren adalah sesuatu yang berat dirasakan tak hanya oleh orang tua, bagi sang anak berpisah sementara dari rumah adalah ujian yang terasa berat. Setiap hari teringat suasana rumah, rindu ayah-ibu, teman-teman dan tentunya fasilitas yang biasa ada di rumah.

Sedangkan di pesantren, fasilitas itu terbatas. Setiap hari hanya bertemu asrama, masjid, majelis, halaqah, ngaji dan ngaji lagi. Tak ada waktu untuk hang out dengan teman-teman sepermainan. Mungkin membosankan, ya?

Sebagai orang yang diamanahi menjaga mereka di pesantren, saya kadang merasa sedih. Betapa kuatnya anak-anak ini meski jauh dari keluarganya. Makan dan jajan kadangkala kurang, pelajaran juga tak selalu mudah. Mereka menghadapi banyak problematika remaja tapi tidak bisa dekat dengan ayah ibunya.

Maka, sebagai orang tua yang menitipkan anaknya ke pesantren, hendaklah untuk selalu mendoakan anak-anaknya. Menitipkan anak tidak bersifat mutlak, sebab pendidikan utama adalah dari dalam rumahnya. Bagaimana anak belajar kemandirian, keterampilan dasar dll sebenarnya adalah tugas orang tua sebelum anak masuk pesantren.

Jika orang tua dan pengasuh serta guru di pesantren bekerja sama dengan baik, insya Allah anak pun akan menjadi lebih baik...

#bloggerbanten

Tugas Blogger Banten