Cari Blog Ini

Minggu, 17 Agustus 2014

Becik Ketitik Olo Ketoro

                Dalam sebuah perjalanan kereta menuju Kediri, Syamsul Hadi bertemu dengan Zidna Ilma (Zizi). Karena ada maling yang kepergok Syamsul, akhirnya keduanya berkelahi setelah mengancam Zizi dengan pisau. Begitu turun dari kereta, keduanya berpisah.
                Singkatnya Syamsul nyantri di pesantren milik kakak Zizi. Salah satu teman Syamsul, Burhan namanya tampak menyukai Zizi, tetapi cemburu berat sebab pernah suatu ketika melihat Syamsul mengembalikan saputangan milik Zizi yang duku dipakai untuk membalut luka Syamsul akibat berkelahi dengan pencuri.
                Gara-gara cemburunya itu ia berniat menyingkirkan Syamsul. Sebuah rencana jahat disusunnya. Ia berjanji akan mentraktir Syamsul tapi dompetnya ketinggalan. Ia lalu meminta Syamsul mengambilkan dompetnya di dalam lemari, tetapi baru saja dompet itu diambil malah kepergok santri lainnya. “ini dia malingnya!” karena rupanya sebelum itu pun sudah ada santri yang kehilangan uang.
                Syamsul diaral beramai-ramai keluar. Dikurung di dalam gudang dan dihajar beramai-ramai oleh santri lainnya. Mudir pondok pun datang, menanyakan langsung masalahnya. Burhan pun dihadirkan, akan tetapi ia justru bersumpah bahwa Syamsul memang bersalah. Hari itu dia telah bermubahalah bahwa apa yang dikatakannya itu benar padahal nyata-nyata itu fitnah. Akibat kebencian yang ada dalam hatinya. akibat tidak rela Zizi “tampak menyukai Syamsul”.
                Bagaimana nasib Syamsul? Dia digunduli, lalu dikeluarkan dengan tidak hormat.
                Sepenggal kisah dalam film “Dalam Mihrab Cinta” karya Habiburrahman el-Shirazy ini secara fiktif menggambarkan dahsyatnya fitnah.
                Fitnah mudah diucapkan, bahkan bisa menyelamatkan diri kita. Tetapi fitnah akan membuat orang yang terfitnah itu kehilangan harga diri, reputasi dan kepercayaan orang lain. Menjadikannya tampak hina dan jelak akhlaknya.
                Seperti Syamsul yang oleh keluarganya sendiri tidak dipercaya. Nadia, adiknya yang paling dekat dengannya sekalipun tak percaya padanya. Ibunya juga. Intinya semua orang menganggap bahwa benar Syamsul itu pencuri.
                Sedangkan Zizi, kebetulan pernah ditolong Syamsul saat di kereta begitu yakin bahwa Syamsul itu orang baik. Kepada kakaknya dia bertanya “apakah Kangmas sudah bertabayun secara benar?”
                Kakaknya ternyata belum tabayun dengan benar. Hanya menerima kesaksian dari satu pihak yaitu Burhan.
                Zizi menyesalkan hal itu. Dengan begitu bijaknya dia berkata “Kangmas, kebenaran itu suatu saat pasti akan jelas. Becik ketitik, olo ketoro”. Yang artinya: baik akan terlihat, jelek juga akan kelihatan.
                Sudah dulu ya ulasan filmnya, panjang banget kalau diceritakan. Namun, hanya ingin bercerita bahwa fitnah itu benar-benar dahsyat. Bahkan dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Bayangkan, kalau pembunuhan itu menghilangkan nyawa. Kalau fitnah itu menghilangkan harga diri seseorang bahkan bisa menjadikan orang baik tampak buruk! Akhirnya bisa saja dikucilkan, dianggap remeh, dijauhi orang, ah itu tentu sangat menyiksa.  
                Bila kita pernah menjadi korban fitnah, tetap tenang dan berbahagialah karena orang yang memfitnah itu pasti akan kena batunya. Sekarang dia bisa tenang-tenang saja karena merasa jadi orang kepercayaan si “penguasa”, nanti juga dia akan merasakan sendiri akibat dari perbuatannya. Kalau nggak di dunia pasti di akherat.
                Allah tidak buta. Allah tidak tuli.

               
 

Selasa, 12 Agustus 2014

Kiai Pahlawan Kiai Teroris

Sekitar 15 tahun lalu, tahun 1999 kami sangat heboh membincangkan satu topic cerita yang terjadi. Tentang perusakan diskotik oleh para ulama. Kami saling berbagi cerita, bagaimana suasana malam itu, para kiai dan ustadz menggerebek diskotik yang berada di bawah tanah, bangunan atasnya berupa hotel yang tak jauh dari rumahku. Ya karena hotel itu ada di desa kami..
Dari luar, hotel itu tampak sepi saja. Ternyata di bawah tanahnya ada diskotik. Para kiai beramai-ramai dengan penduduk setempat mendatangi tempat itu dan melakukan pembakaran dan penghancuran diskotik.

Kala itu, aku masih ingat bagaimana satu kalimat yang menggambarkan bagaimana para kiai itu bertindak. “para kiai menyingsingkan sarungnya berjalan beramai-ramai menuju diskotik yang akan dihancurkan itu”. Kalimat ini, hingga detik ini terus berkesan karena bagiku menggambarkan keheroikan mereka. Ya, kami menganggap para kiai ini adalah pahlawan sebab berani menghancurkan tempat maksiat.

Suasana kampung pun memanas, sebab kejadian itu. Aku yang masih sekitar kelas 6 SD hanya mendengar sana-sini terkait kejadian itu.
Namun sekarang, 15 tahun kemudian, diskotik dan semacamnya tersebar luas bahkan meski sudah diberitakan di media cetak pun sepertinya para kiai diam saja. Yaaaa, diam. Padahal kejadian 15 tahun lalu itu tidak banyak yang tahu, alias memang rahasia dan bawah tanah. Tapi para kiai bisa mengetahuinya dan menghancurkannya, dan kami bangga.
Sekarang, sudah terang-terangan… dan kalau ada kiai yang merusak diskotik itu pasti bukan lagi pahlawan. Melainkan anarkis, teroris!
Luar biasa 15 tahun ini media telah menggeser makna sebuah “penghancuran tempat maksiat” menjadi sebuah anarkisme. Bahkan kiai yang tidak menghancurkan pun tetap mendapat cap teroris. Oh dunia, sudah begini parahkah engkau? Maksiat terang-terangan dibiarkan, dan orang yang ingin menghancurkannya disebut teroris….
Dulu di kampung kami, kalau ada yang berzina itu diarak beramai-ramai… sekarang, dinikahkan diam-diam dan semua sepakat untuk diam. Kalau ada yang bicara, itu dipaksa diam karena akan membuka aib.

Kami merindukan ulama kami yang telah wafat…yang masih memegang kemurnian akidah…

Sabtu, 09 Agustus 2014

Kelapangan Dada Imam Abu Hanifah dan Kebesaran Jiwa Khalifah


                Fatih (4th) suka sekali mendengarkan kisah “jagoan dari negeri Syam”, ya beliau adalah Imam Abu Hanifah. Menelusuri kisah beliau sangat mengagumkan, penuh inspirasi dan memberikan kita semangat untuk menuntut ilmu.
                Abu Hanifah an Nu’man lahir di kota Kufah pada tahun 80 H. ayahnya adalah pedagang kain sutra yang sukses. Sejak kecil beliau sering membantu ayahnya berdagang di pasar. Namun beliau juga rajin mengaji dan menuntut ilmu. Pada usia 10 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
                Beliau pun rajin belajar, tetapi mulai jarang menghadiri majelis ilmu karena sibuk berdagang. Atas saran dari seorang ulama, beliau pun kemudian menjadi rajin menuntut ilmu pada seorang guru. Ilmu-ilmu dibentangkan di depan matanya, kemudian dipilihlah satu ilmu yang menjadi spesialisasinya. Maka dipilihlah ilmu fikih.
                Beliau menjadi guru, dengan banyak murid. Beliau sangat memerhatikan murid-muridnya, biaya pendidikan pun digratiskan. Sampai-sampai Abu Yusuf suatu hari ditanya oleh beliau kenapa jarang menghadiri majelis ilmunya? Abu Yusuf mengaku karena sibuk mencari penghidupan dan bakti pada orangtuanya. Apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah? Diberikannya uang pada Abu Yusuf agar tak sibuk bekerja. Bahkan kalau uang itu habis, segera kabari beliau. (sudah gratis biaya pendidikannya, diberikan tunjangan hidup pula).
                Namanya semakin harum sebagai ulama yang adil dan mendalam ilmunya. Ketika beliau berada pada masa kejayaannya, justru bani Umayyah berada pada masa keruntuhannya. Terjadilah pemberontakan oleh gerakan-gerakan rahasia, beliau pun memilih untuk menyelamatkan ilmunya dengan pindah ke Makkah. Di sana beliau berguru pada Imam Malik dan mendapatkan banyak hadits yang masih terjaga keshohihannya.
                4000 orang telah menjadi guru beliau, tentu ilmunya sangat mendalam. Hingga beliau kembali lagi ke Kufah pada masa kepemimpinan Khilafah Abbasiyah (yang saat itu Khalifahnya Abu Ja’far al-Manshur), beliau diminta untuk menjadi Qadli. Qadli adalah jabatan tinggi kala itu. Namun beliau menolak. Sebab beliau merasa tidak mampu untuk menghukumi Khalifah dan para panglimanya. Bukan karena tidak ‘alim.
                Hal ini, menurut saya sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Banyak orang berebut menjadi Hakim Agung atau apalah istilahnya, padahal ilmu belum sedalam lautan, tapi ambisi begitu besar untuk mendapatkan jabatan bergengsi. Imam Abu Hanifah tetap tidak mau menduduki jabatan tersebut, sebaliknya Khalifah hanya mau kedudukan Qadli itu disandang oleh ulama yang adil seperti Imam Abu Hanifah. Sampai sini saya memandang bahwa keduanya tidak ada yang salah. Pun ketika Khalifah marah hingga memenjarakan beliau. Masya Allah yah, Khalifah memenjarakan ulama seperti beliau KARENA beliau tidak mau menduduki jabatan Qadli. Nah kalau sekarang hakim pun bisa dipenjarakan karena…..you know laaaah kasusnya biasanya apaan.
                Ini ada lagi yang menarik. Ketika dalam penjara, usia beliau mendekati 70 tahun. Seorang sipir penjara menyiksanya, ketika ditanyakan siapa namamu dan apa yang telah kau perbuat? Beliau diam saja. Hingga dicambuki dan rekan sipir itu berujar.
                “Dia adalah ulama.”
                Sang penghukum tadi terkejut, “Apa? Dia seorang ulama? Aku telah menyiksa seorang ulama? Celakalah aku….” Maka ia tersungkur penuh penyesalan dan menangis karena telah menyiksa seorang ulama.
                Saya takjub!
                Masa sekarang, kita melihat bersama. Ulama sholih Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diperlakukan dengan tidak hormat oleh para xxxxxxxxxx (isi sendiri deh, saya malas menyebutnya apaan). Diseret, disidang, di…….. ah nggak sopan banget sih! Jangankan menangis menyesal karena telah menyiksa seorang ulama, ini malah dengan pongah menuduhnya sebagai teroris? Sungguh heran saya, di mana akal sehatnya? Seharusnya kan Israel, AS, dan sekutunya itu yang layak disebut teroris?
                Keheranan itu bermuara pada satu konklusi. Bahwa pada masa Imam Abu Hanifah itu adalah ketika syariat Islam diterapkan, ya, dalam institusi Khilafah Islamiyah. Sedangkan sekarang, ketika para ulama dan mujahidin dicap teroris, itu adalah masa ketika syariat islam dicampakkan, lalu yang ditegakkan adalah system demokrasi, bukan KHilafah Islamiyah! Semoga mata hati kita tidak buta untuk melihat mana system yang baik dan mana system yang tidak baik. Sebab hari ini kita menyaksikan pemerintahan thogut telah angkuhnya menyatakan bahwa ada hukum lain yang lebih tinggi dari hukum Islam, yaitu pancasila, UUD 45, demokrasi! (lihat QS al-maidah:50) semoga hati kita terbuka.
                Kelapangan dada ulama , dan kebesaran jiwa Khalifah… hingga di akhir hayat beliau, sang Khalifah meminta maaf dengan penuh penyesalan karena telah memenjarakan beliau, khalifah bertanya “apa yang kau inginkan wahai Imam?”
                Beliau menjawab “aku hanya ingin kau memasukkanku ke dalam surga dan mengeluarkan aku dari neraka.”
                Khalifah tercengang, “itu hanya kuasa Allah.”
                “Tapi hanya itu yang kuinginkan.” Lalu beliau meninggal.

                Subhanallah….sungguh ilmu dan nasihat yang sangat berharga pagi ini, setelah melihat acara Khalifah dan pencerahan dari Ustadz Budi Ashari.