Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Maret 2020

Catatan dari Petak Sembilan



Aroma dupa menguar di udara ketika memasuki area Petak Sembilan di Pecinan Glodok, tak jauh dari Pasar Asemka. Deretan lapak dan toko memanjang dari gerbang Pecinan sampai ke Wihara Darma Bakti.

Wihara Darma Bakti adalah wihara tertua di Kota Jakarta. Dibangun pada tahun 1650 oleh seorang Luitenant Tionghoa, Kwee Hoen, dan semula wihara ini bernama Kwan Im Teng.
Ada banyak pedagang pernak-pernik peribadatan bagi warga Tionghoa, berdampingan dengan pedagang buah, sayur dan kebutuhan rumah tangga lainnya.


Di Petak Sembilan ini juga ada banyak kuliner Chinese. Termasuk yang berbahan dasar babi. Tak perlu cemas akan tertipu makanan halal haram, sebab para pedagang dengan jelas menulis keterangan menunya.Untuk yang Muslim, disarankan makan di tempat yang diyakini kehalalannya.








Keunikan Komoditas
Ada beberapa jenis barang yang unik di Petak Sembilan, yang tidak akan ditemui di pasar lainnya. Yaitu teripang. Timun laut yang salah satu manfaatnya untuk mengurangi kolesterol ini harganya tidak main-main. Mulai dari 250ribu-600ribu per kilogram. Bahkan, teripang kering berjumlah 40 pcs harganya 2,6 juta. Namun bagi warga Tionghoa, harga segitu tidak menjadi masalah, terutama saat perayaan Imlek.

Ada lagi yang unik, yaitu kodok/katak. Dijual dengan harga 40ribu/kg, bagi warga Tionghoa kodok memiliki filosofi tersendiri yakni “ayam dari langit”. Cukup dibumbui dengan garam saja sudah enak. Komoditas ini didatangkan dari Banjar, Jawa Barat. Pak Brimob, penjualnya menyatakan bahwa kodok ini juga menjadi salah satu bahan utama untuk menu di restoran.

Selain itu, ada pula sayuran dengan kualitas super. Seperti lobak putih, labu kuning, dan paprika dengan ukuran besar. Namun jangan heran bila harganya mahal. Warga pribumi jarang yang berbelanja di Petak Sembilan, mereka biasanya belanja di Jembatan Lima yang harganya lebih terjangkau.

Harmonis
Warga Tionghoa di Pecinan Glodok ini presentasenya 99%. Sisanya adalah pribumi, baik asli maupun pendatang. Bahkan perangkat desanya juga warga Tionghoa. Mereka hidup berdampingan dengan baik dan saling toleransi. Bagi warga Muslim, tempat ibadah bagi mereka berupa mushola, tidak terdapat masjid di area Pecinan ini.

Babay S, penjaga keamanan di Petak Sembilan mengaku sudah 23 tahun bertugas di sini. Pria yang berasal dari Serang, Banten ini pernah menjadi saksi sejarah kerusuhan 1998. Pada waktu itu, kondisi yang sulit dikendalikan dengan pecahnya kerusuhan di banyak tempat secara bersamaan membuatnya kalang kabut. Namun warga Tionghoa memilih untuk bertahan di rumah masing-masing, meskipun terjadi penjarahan di toko-toko.


Oleh karena situasi yang tak terkendali itu, warga membuat pintu vital yakni gerbang besi yang digembok rapat agar tidak ada penyusup atau provokator yang memasuki kawasan Petak Sembilan. Begitu kerusuhan usai, mereka kembali membangun puing-puing usaha mereka, dan tetap eksis sampai sekarang. (yN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar di sini, jangan tinggalkan hatimu sembarangan 😁