NHW #3
1.
Surat cinta. Sudah lama aku tak menulisnya. Dulu pernah kuberikan pada suamiku surat cinta, tapi responnya datar saja. Yowis... Suamiku memang tipe plegmatis, tak banyak ekspresi. Datar dan damai sentosa saja. Marah juga hampir tak pernah. Yang penting rumah tangga ayem tentrem. Nah kali ini kubuat lagi surat cinta sepanjang satu halaman saja. Dan yaaa mimik wajahnya datar saja, bahkan bacanya cepet banget biar segera selesai. Trus Cuma ngacungin jempol. Abang Sayang, ini bukan status FB ya... Jadi gak butuh like. Lalu dibalasnya di bawah surat itu. Dua huruf dengan satu tanda baca, yaitu: OK!. Hmmm..... Abang, daku sudah menulis panjang ya masa dibalasnya Cuma segituuu? Lalu, diralatlah. Setelah cukup lama menulis katanya saya tak boleh komentar. Apapun itu. Okelah... Dan balasannya adalah:
“wa’aasyiruuhunna bil ma’ruuf. Fain karihtumuuhunna fa’asaa an tukrihu syai’an wa yaj’alallahu khoiron katsiro”.
Sayang, terima kasih karena menjadi suamiku. Aku bahagia. Mungkin engkau tak romantis, mungkin tak pandai merayu, tapi... Perlakuan baikmu selama ini sudah lebih dari cukup. Ketika engkau ridho, engkau sangat baik. Ketika engkau marah, diriku tak pernah kausakiti, meski hanya seujung kuku. Bahkan marahmu selama 7 tahun pernikahan ini bisa dihitung denga jari. Terima kasih telah menerimaku menjadi istrimu, dengan segala kekuranganku.
2.
Anak-anakku, 3 orang putra dengan karakter yang berbeda jauh. Fatih, 6 tahun, sosok kakak yang sayang pada adik-adiknya meski kadang usil. Namun begitu perhatian dan tahu betul apa yang disukai adiknya. Fatih sangat aktif, kegiatannya bersifat fisik. Lari, lompat, manjat, nyebur ke air, itu total. Full ekspresi. Tak ada yang dia takuti. Dia suka tantangan. Tak peduli bahaya. Makanya dia yang paling banyak terluka. Jatuh, berdarah, lecet dll. Fatih suka dibacakan cerita. Suka kisah-kisah meski belum pandai membaca. Tapi dia juga sensitif, mudah tersinggung...
Thoriq, 4 tahun, kebalikan dari Fatih. Dia penuh perhitungan. Lebih kalem, tak banyak bergerak. Makanya badannya sedikit lebih berisi dari Fatih. Karena setelah makan, dia suka leyeh-leyeh bahkan tidur. Adapun dia jadi aktif, karena mengikuti ritme bermain Fatih. Dia takut mencoba hal baru, pemalu di tempat baru, temannya tidak banyak. Tapi dia kepala batu. Sungguh keras kemauannya, sulit kompromi tak seperti Fatih. Thoriq lebih memilih nangis kejer jika permintaannya tidak dituruti. Karena itu kepada Thoriq, saya sedikit lebih lunak. Oya, kalau sedang lapar, Thoriq seperti saya. Rese. “lo bukan lo kalo lagi laper” itu benar rasanya. Dia bisa nangis sambil teriak lapar. Setelah kenyang, sungguh manis sikapnya.
Kholid, 1,5 tahun, dia mirip Fatih. Tak takut mencoba hal baru. Wajahnya pun sangat mirip Fatih. Tapi dia lebih ceria, mudah meniru kata-kata meskipun baru sekali diucapkan. Akan bagus untuk menghafal Quran.
3.
Apa kekuatan potensi saya? Dalam urusa domestik, saya tak begitu pandai, ya standar sajalah. Namun ada sih rasanya kekuatan itu, yaitu manajemen waktu. Saya tidak suka telat, maka supaya bisa on time, saya harus tepat memprediksikan semuanya mulai dari persiapan, dan di perjalanan. Inilah yang suami saya kurang. Suka ngaret. Maka, alangkah bagusnya kalau saya bisa melengkapi kekurangannya.
4.
Tak ada yang kebetulan mengapa keluarga saya ada di sini. Kami masih tinggal di rumah ibu saya. Saya ingin tinggal di tempat sendiri, hanya keluarga inti. Namun, ibu saya ingin agar kami tinggal di sini. Untuk sementara ini, mungkin supaya kami bisa menemani ibu saya yang sendiri sejak 3 tahun lalu ditinggal almarhum bapak saya...